السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-36 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu ‘Uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi’ Al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa’dī rahimahullāh.

Kita lanjutkan pembahasan hadīts yang ke-33, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Saīd radhiyallāhu ta’āla ‘anhu.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ ـ رضى الله عنه ـ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ, وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ, وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ -متفق عليه-

Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
” Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya maka Allāh akan memberikan kehormatan kepadanya. Dan barangsiapa mencukupi dirinya dengan Allāh, maka Allāh akan mengkaruniakan kekayaan diri kepadanya. Dan barangsiapa bersabar maka Allāh akan mengkaruniakan kesabaran kepadanya. Dan tidaklah seseeorang diberikan pemberian yang lebih baik dan lebih luas, lebih melapangkan dadanya dibandingkan orang yang diberikan kesabaran.” (Hadīts shahīh riwayat Imām Bukhāri dan Muslim)

Di dalam menjelaskan hadīts ini, Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa’dī rahimahullāh mengatakan bahwasanya kesempurnaan seorang hamba ada pada keikhlāsan dia kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, Dia merasa cemas dan merasa harap di dalam ketergantungannya kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Maka untuk mengapai kesempurnaan tersebut tentunya ada upaya yang harus dia lakukan, ada upaya yang harus dia jalani agar menjadi seorang yang benar-benar menghambakan diri kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Menjadi seorang yang benar-benar merdeka dari penghambaan kepada para makhluk, dari ketergantungan hati kepada para makhluk.

Upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan dua hal yang dikabarkan oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam di dalam hadīts ini.

• Yang Pertama adalah memiliki sifat menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta apa yang ada ditangan manusia.

⑴ Menjaga kehormatan dirinya dari meminta dengan lisannya (ucapannya).

⑵ Menjaga kehormatan dirinya dari meminta apa yang ada pada manusia dengan bahasa tubuhnya.

Karena ada kalanya seseorang, dia tidak meminta dengan lisannya tetapi dia meminta dengan bahasa tubuhnya atau perilakunya dia sebenarnya meminta dan mengharapkan apa yang ada pada manusia.

Maka orang yang seperti ini bukanlah orang yang menjaga kehormatan dirinya, karena dia menggantungkan dirinya pada apa yang ada ditangan manusia.

Maka Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam menjelaskan:

وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ

” Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari meminta apa yang ada ditangan manusia maka Allāh akan mengkaruniakan kepadanya kehormatan diri.”

Ini hal pertama yang merupakan upaya yang harus dilakukan untuk bisa merealisasikan kesempurnaan penghambaan kepada Allāh (yaitu) menjaga kehormatan diri agar tidak mengharapkan apa yang ada pada manusia.

• Yang Kedua adalah dengan cara merasa cukup dengan adanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

√ Dia merasa dirinya telah kaya dengan adanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
√ Dia merasa yakin dan benar-benar yakin bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang akan mencukupinya.
√ Dia bertawakal hanya kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla (bukan kepada selain Allāh Subhānahu wa Ta’āla).

Lalu upaya yang kedua setelah dia melepaskan harapan dia kepada manusia, kemudian dia gantungkan harapannya hanya kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan dia hanya mengharapkan pemberian dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Oleh karena itu Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengabarkan:

وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ

” Barangsiapa merasa cukup dengan adanya Allāh, maka Allāh akan mengkaruniakan kepadanya kekayaan yang haqiqi yaitu kekayaan diri (kecukupan pada dirinya).”

Dua hal ini (sifat iffah dan al istighnaubillāh) adalah dua hal yang akan memberikan kepada dirinya kekuatan di dalam ketergantungan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Yang akan memberikan pada dirinya ketergantungan hati kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan menumbuhkan rasa harap akan karunia Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan husnudzān atas apa yang akan Allāh berikan kepadanya.

Dan dua sifat ini merupakan dua sifat yang diminta oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam di dalam do’a Beliau.

Di antara do’a Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, adalah:

اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

” Yā Allāh, aku meminta padaMu hidayah (petunjuk), ketakwaan, diberikan sifat ‘afāf (sifat kehormatan diri) dan ghinā (kekayaan diri).”

Maka barangsiapa dikaruniai sifat-sifat ini, maka dia akan mendapatkan kemenangan di dalam hatinya, dia tidak akan bergantung kepada orang lain di dalam hal apapun.

Kemudian di dalam hadīts ini juga Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam menjelaskan tentang satu sifat agung yang lain yang juga harus dimiliki oleh seseorang di dalam menjalankan kehidupan di dunia ini yaitu sifat kesabaran.

Karena kesabaran ini merupakan pemberian yang begitu besar dan yang terbaik dan sesuatu yang Allāh perintahkan untuk senantiasa dijadikan pegangan di dalam menghadapi semua urusan.

Oleh karena itu Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

وَٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ

” Dan mintalah pertolongan kepada Allāh dengan kesabaran dan shalāt.”
(QS. Al Baqarah: 45)

Maka kesabaranlah yang digunakan untuk menjalani dan menghadapi kehidupan di dunia ini, kesabaranlah yang akan menjadi penolong kita.

Suatu hal yang bisa membantu kita dalam menghadapi urusan-urusan dunia dan juga menghadapi urusan-urusan akhirat.

Dan yang namanya kesabaran butuh kepada upaya untuk dilatih dan memaksa diri, oleh karena itu Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengabarkan:

وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ

” berupaya untuk bersabar, maka Allāh akan mengkaruniakan kepadanya kesabaran dan Allāh akan membantu dalam urusan-urusannya dengan kesabaran tersebut.”

Kesabaran ini butuh untuk diupayakan.
Kesabaran ini harus ada pada semua keadaan, semua urusan seorang hamba, karena itu merupakan sebab ditolongnya dia, sebab berhasilnya dia

Kesabaran diperlukan dalam menjalankan ketaatan, agar dia bisa menjalankan ketaatan dan perintah-perintah Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kesabaran diperlukan di dalam menjauhi perbuatan-perbuatan kemaksiatan sehingga dia mampu untuk menjauhi perbuatan-perbuatan yang Allāh larang.

Kesabaran juga dibutuhkan di dalam menjalani taqdir yang Allāh tetapkan untuknya, dia tidak menunjukkan rasa marah atau benci ketika menghadapi taqdir yang kurang dia senangi (ketika menghadapi hal-hal yang tidak dia inginkan).

Sebagaimana kesabaran juga dibutuhkan tatkala dia menghadapi nikmat (diberikan nikmat), menghadapinya juga dengan kesabaran agar nikmat tersebut tidak dia gunakan untuk hal yang justru mendatangkan murka Allāh.

Dan agar nikmat tersebut digunakan untuk bersyukur atas nikmat yang sudah dia dapatkan.

Semua itu butuh pada kesabaran.

Karena pentingnya sifat sabar itu, Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengabarkan kepada kita tentang hakikat apa yang telah dilakukan para penduduk Surga sehingga mereka bisa mendapatkan kenikmatan di Surga.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

أُو۟لَـٰٓئِكَ يُجْزَوْنَ ٱلْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا۟

” Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam Surga) karena kesabaran mereka.” (QS. Al Furqān: 75)

Mereka mendapatkan surga dan kenikmatan-kenikmatannya dan mereka mendapatkan derajat yang tinggi di surga di sebabkan dahulu (tatkala di dunia) mereka bersabar.

√ Mereka bersabar dalam ketaatan.
√ Mereka bersabar dalam menjauhi kemaksiatan.
√ Mereka bersabar di dalam menyikapi taqdir yang telah Allāh tetapkan.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjadikan kita termasuk orang-orang yang memiliki sifat kesabaran di dalam menghadapi segala urusan dan di dalam menghadapi atau menjalankan semua ketaatan.

Dan semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla juga mengkaruniakan kepada kita sifat ‘ifah (kehormatan diri) tidak berharap dengan apa yang ada pada manusia.

Dan juga memiliki sifat al ghinā (kekayaan diri) yaitu merasa cukup, merasa kaya dengan adanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla sehingga kita hanya bertawakal kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan hanya mengharapkan pemberian dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla bukan pemberian dari makhluk.

Demikian penjelasan yang bisa kita kaji pada halaqah kali ini (in syā Allāh) akan kita lanjutkan hadīts berikutnya pada halaqah mendatang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

——————————-
Sumber: BimbinganIslam.com
Rabu, 27 Rajab 1440 H / 03 April 2019 M
Oleh: Ustadz Riki Kaptamto Lc
Dari: Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi’ al Akhbār
Halaqah 036 | Hadits 33
——————————–
Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk amal yang dicintai dan diridhai-Nya. Shalawat dan salam semoga juga dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu Álaihi Wasallam, segenap keluarga dan para sahabatnya.

MEDIA DAKWAH EUROMOSLIM: Buletin Terbit Setiap Hari Jum’at
EUROMOSLIM-AMSTERDAM
Indonesisch-Nederlandsche Moslim Gemeenschap–Amsterdam
Organisasi Keluarga Muslim Indonesia-Belanda di Amsterdam
EKINGENSTRAAT 3-7, AMSTERDAM-OSDORP

Amsterdam, 31 mei 2019 / 26 ramadhan 1440
Saran, komentar dan sanggahan atas artikel diatas kirim ke:
E-mail: Euromoslim-Amsterdam: media@euromoslim.org