السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-12 dalam mengkaji kitāb:

بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار

(Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu ‘uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi’ Al Akhyār) yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa’dī rahimahullāh.

Halaqah kita kali ini membahas hadīts ke-12 yaitu hadīts dari Abū Hurairah radhiyallāhu ta’āla ‘anhumā, dimana beliau mengatakan:

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: المؤمن القوي خير وأحب إلى االله من المؤمن الضعيف، وفي كل خير احرص على ما ينفعك، واستعن باالله ولا تعجز. وإن أصابك شيء فلا تقل: لو أني فعلت، كان كذا وكذا، ولكن قل: قدر الله وما شاء فعل، فإن لو تفتح عمل الشيطان -رواه مسلم

Rasūlullāh  shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Seorang mukmin yang kuat itu lebih baik dan dicintai oleh Allāh dibandingkan mukmin yang lemah dan pada masing-masingnya ada kebaikan.

Bersemangatlah untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allāh dan janganlah engkau lemah.

Dan apabila ada sesuatu hal yang tidak menyenangkan menimpamu maka jangan engkau katakan:

‘Seandainya sebelum aku melakukan demikian maka pasti akan demikian dan demikian.’

Akan tetapi ucapkanlah:

 قدر الله وما شاء فعل

(‘Apa yang Allāh tetapkan dan apa yang Allāh kehendaki maka itu akan terjadi’)

Karena ucapan “seandainya” ini akan membuka celah bagi syaithān.” (Hadīts riwayat Muslim)

Syaikh Abdurrahmān As Sa’dī rahimahullāh, di sini menjelaskan bahwasanya hadīts ini memberikan kepada kita beberapa faedah-faedah yang agung.

Di antaranya:

 إثبات المحبة صفة الله، وأنها متعلقة بمحبوباته وبمن قام بها ودل على أنها تتعلق بإرادته ومشيئته، وأيضا تتفاضل. فمحبته للمؤمن القوي أعظم من محبته للمؤمن الضعيف

Menetapkan adanya sifat mahabbah bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla (المحبة صفة الله) yaitu sifat cinta.

Dan kecintaan Allāh itu berkaitan dengan dzat atau makhluk yang Allāh cintai.

Dan juga kecintaan Allāh itu, berkaitan dengan kehendak Allāh dan keinginan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Dan kecintaan Allāh bertingkat-tingkat, maka kecintaan Allāh kepada seorang mukmin yang kuat lebih tinggi dan lebih banyak dibandingkan kecintaanya kepada seorang mukmin yang lemah.

Kemudian beliau (rahimahullāh) menyebutkan bahwa hadīts ini juga menunjukkan kepada kita bahwasanya keimānan itu mencakup perkara-perkara keyakinan hati dan juga ucapan lisan dan juga amalan perbuatan.

Sebagaimana hal itu adalah aqidah ahlus sunnah wal jamā’ah, sebagaimana diterangkan dalam hadīts yang lain. Yang hadīts itu menunjukkan bahwasanya:

 الإيمان بضع وسبعون شعبة، أعلاها: قول: ( لا إله إلا الله ) وأدناها: إماطة الأذى عن الطريق، والحياء شعبة منه

“Imān itu terdiri dari 70 sekian cabang, cabang yang paling tinggi adalah ucapan ”Lā ilāha illallāh’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan dan rasa malu adalah cabang dari keimānan.”

Hadīts ini menunjukkan bahwasanya imān itu mencakup beberapa hal, di antaranya adalah amalan secara bathin (yaitu) rasa malu kemudian mencakup ucapan lisan (yaitu) ucapan ‘Lā ilāha illallāh, serta mencakup amalan perbuatan (yaitu) yang disebutkan didalam hadīts ini adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.

Kemudian beliau (rahimahullāh) sampaikan:

فمن قام بها حق القيام، وكمل نفسه بالعلم النافع والعمل الصالح، وكمل غيره بالتواصي بالحق، والتواصي بالصبر: فهو المؤمن القوي

Maka barangsiapa dia menyempurnakan keimānannya tersebut dan dia membekali dirinya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shālih, kemudian dia juga berusaha untuk menyempurnakan orang lain dengan cara memberikan wasiat tentang kebenaran dan juga tentang kesabaran, maka orang yang seperti inilah mukmin yang kuat.

ومن لم يصل إلى هذه المرتبة: فهو المؤمن الضعيف

Akan tetapi barangsiapa yang tidak sampai kepada tingkatan yang seperti ini, ada beberapa hal yang dia lalaikan atau tidak dia tunaikan, maka itu adalah seorang mukmin yang lemah.

Maka dari hadits ini pula bisa kita ketahui bahwasanya imān itu bertambah dan berkurang. Bertambahnya dengan keta’atan dan berkurangnya dengan kemaksiatan.

Semua itu tergantung dari sedalam apa keilmuan dia dan pengenalan dia terhadap keimānan serta sejauh mana dia beramal. Maka di situlah keimānan dia bergantung dari hal-hal tersebut.

Kemudian di dalam hadīts ini juga setelah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyebutkan tentang mukmin yang kuat lebih dicintai Allāh daripada mukmin yang lemah. Beliau kemudian menyebutkan juga bahwasanya masing-masing tetap memiliki kebaikan, baik mukmin yang kuat maupun mukmin yang lemah.

Maka beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) bersabda:

وفي كل خير

“Dan pada masing-masing nya memiliki kebaikan.”

Dari sini beliau sebutkan, bahwasanya ketika seorang ingin membandingkan antara dua orang atau dua hal, maka lebih baiknya dia juga menyebutkan dari sisi apa keutamaan tersebut.

Sehingga bila memang ada kesamaan kebaikan, kesamaan keutamaan tetap dia tidak menafi’kan keutamaan tersebut sebagaimana Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tetap menyebutkan bahwasanya masing-masing, baik itu mukmin yang lemah atau mukmin yang kuat, masing-masing tetap memiliki kadar kebaikan.

Sehingga orang yang dianggap kalah dalam perbandingan tidak tercela.

Kenapa?

Karena dia juga memiliki keutamaan lain.

Kemudian beliau sebutkan faedah berikutnya yang bisa diambil dari hadīts ini, bahwasanya orang-orang berimān mereka bertingkat-tingkat di dalam sisi kebaikan dan dari sisi kecintaaan Allāh kepada mereka.

Sebagaimana Allāh Subhānahu wa Ta’āla  telah menyebutkan di dalam surat Al Ahqaf.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla  berfirman:

وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا

“Dan masing-masing memiliki derajat berdasarkan apa yang mereka amalkan.” (QS Al Ahqaf: 19)

Dan tingkatan itu terbagi menjadi 3 (tiga) tingkatan, sebagaimana Allāh Subhānahu wa Ta’āla sebutkan.

⑴ Assābiqūna ilā al khairat ( السابقون إلى الخيرات) Orang-orang yang mereka bersegera terhadap kebaikan.

Yaitu mereka yang menjalankan perkara-perkara yang wajib serta ditambah dengan perkara-perkara yang mustahab.

Dan mereka meninggalkan perkara-perkara yang haram dan disamping itu mereka meninggalkan hal-hal yang makruh serta perkara mubah yang lebih dari kadar yang mereka butuhkan.

Maka mereka menyempurnakan sifat mereka, mereka adalah pada tingkatan yang pertama.

⑵ Al Muqtashidun (المقتصدون) Mereka adalah orang-orang yang melakukan perkara yang wajib dan meninggalkan perkara yang haram.

Mereka tidak menambah selain dari melakukan perkara-perkara yang wajib dan meninggalkan perkara-perkara yang haram yang Allāh Subhānahu wa Ta’āla larang.

⑶ Azh zhālimūna lianfusihim (الظالمون لأنفسهم). Orang-orang yang zhālim terhadap diri mereka.

Yaitu mereka yang mencampurkan amal shālih dengan amal yang buruk.

In syā Allāh kita lanjutkan lagi penjelasan tentang hadīts ini pada halaqah berikutnya.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم

والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت نستغفرك وأتوب إليك

〰〰〰〰〰〰〰

BimbinganIslam.com

Sabtu, 05 Sya’ban 1439 H / 21 April 2018 M

Ustadz Riki Kaptamto Lc

Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi’ al Akhbār

Halaqah 012 | Hadits 12

〰〰〰〰〰〰〰

Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk amal yang dicintai dan diridhai-Nya. Shalawat dan salam semoga juga dilimpahkan Allah kepada  Nabi kita Muhammad Shallallahu  Álaihi  Wasallam, segenap keluarga dan para sahabatnya.

MEDIA DAKWAH: Buletin Euromoslim Terbit Setiap Jum’at

EUROMOSLIM-AMSTERDAM

Indonesisch-Nederlandsche Moslim Gemeenschap–Amsterdam

Organisasi Keluarga Muslim Indonesia-Belanda di Amsterdam

EKINGENSTRAAT 3-7, AMSTERDAM-OSDORP

Amsterdam,  10 agustus 2018 / 28 dzul qi’dah 1439

Saran, komentar dan sanggahan atas artikel diatas kirim ke:

E-mail: Euromoslim-Amsterdam: media@euromoslim.org