Ahlus Sunnah Meninggalkan Perdebatan
Mereka ( ahlus sunnah ) meyakini aqidah ini secara totalitas dan istiqamah di atasnya. Mereka berusaha menjauhi segala hal yang memicu segala pertikaian dan perdebatan. Hal ini merupakan aspek tertinggi dalam urgensi kemantapan hati di atas aqidah yang benar. Dengan demikian, pelakunya akan merasa cukup/yakin dengan akidah tersebut.

Ahlus sunnah memiliki kerelaan dan kepercayaan yang sempurna terhadap agama dan keyakinan yang mereka pegang. Oleh karena itulah, ahlus sunnah tidak seperti kelompok lainnya, tidak memerlukan produk yang ada pada mereka berupa pemikiran dan akal.

Sedangkan pelaku hawa nafsu dan bid’ah, anda dapati mereka adalah orang yang labil gemar bepindah-pindah dari pendapat orang yang satu ke orang yang lain, bertanya dan meminta arahan kepada mereka dalam masalah agama, karena mereka merasa ragu, tidak mantap dan tidak tenang.

Adapun Ahlus sunnah, mereka berada di atas keyakinan yang sempurna, mereka tidak mau menerima percekcokan dan perdebatan di dalam aqidahnya.

Mereka merasa mantap dan tenang dengan aqidahnya dengan kemantapan yang tinggi dan
merasa terikat dengan Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ. Kitâbullâh, yang tidak datang dari segala sisi dan tidak pula dari belakangnya kebatilan, dan sunnah Nabi-Nya yang tidaklah diucapkan dari hawa nafsu, sehingga mereka menjadi tenang dan mantap dengan ketenangan dan kemantapan yang tinggi terhadap aqidah yang mereka yakini. Mereka tidak membutuhkan perdebatan, percekcokan dan sebagainya.

Namun mereka tetap di dalam aqidahnya di atas jalan dan cara yang satu, semenjak dari generasi awal hingga akhir, mereka tidak plin-plan dan tidak goyah, tidak labil dan tidak pula bimbang.

Adapun ahlul bâthil, maka keadaan mereka berbeda. Allah Ta’âlâ berfirman :
﴿مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ﴾
“ Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka
bertengkar.” (QS az-Zukhruf : 58)

Anda dapati mereka adalah orang yang goyah dan bimbang, lebih condong kepada pemikiran dan akal manusia dan banyak melakukan kelabilan di dalam agama.

Saya nukilkan di dalam pembahasan ini sejumlah atsar dari para salaf rahimahumullâhu yang sangat besar manfaatnya.

Abū Hudzaifah berkata kepada Abū Mas’ūd,
«إن الضلالة حق الضلالة، أن تعرفَ ما كنت تنكر، وتنكرَ ما كنت تعرف، وإياك التلوّنَ في دين الله، فإن دين الله واحد»
“ Sesungguhnya kesesatan yang paling sesat adalah, anda mengakui sesuatu yang anda ingkari dan mengingkari yang anda akui. Jauhilah sikap labil di dalam agama, karena agama Allah itu hanya satu.” al-Ibânah karya Ibnu Baththoh II/505).

‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz berkata,
«من جعل دينه غرضًا للخصومات أكثر التنقلَ»
“ Barangsiapa yang menjadikan agamanya hanya untuk perdebatan, maka akan lebih banyak labilnya.”

Beliau rahimahullâhu juga berkata,
«من عمل بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح، ومن لم يعد كلامه من عمله كثرت
خطاياه، ومن كثرت خصومته لم يزل يتنقل من دين إلى دين»
“ Barangsiapa yang beramal tanpa ilmu, maka ia akan lebih banyak merusak daripada membenahi. Dan barangsiapa tidak memperhitungkan perkataannya sebagai amalnya, maka akan berlimpah dosa-dosanya. Serta barangsiapa yang banyak berdebat, ia akan senantiasa bersifat labil berpindah-pindah dari satu agama ke agama lainnya.” ( al-Ibânah II/504).

Mi’an bin Isâ berkata,
«إنصرف مالك يومًا من المسجد وهو متكئ على يدي، فلحقه رجل يقال له ابو الجويرية -كان يتهم بالإرجاء- فقال: يا أبا عبدالله إسمع مني شيئا أكلّمك أحاجّك وأخبرك برأيي، قال: فإ غلبتني؟ فقال: فإن غلبتك إتبعتني، قال: فإن جاء رجل آخر فكلّمنا فغلبنا؟ قال: نتّبعه، قال مالك: يا عبد الله، بعثه الله محمدا لدين واحد، وأراك تتنقل من دين إلى دين»
“ Pada suatu hari, Mâlik berangkat ke masjid sedangkan beliau dalam keadaanbersandar pada tanganku. Kemudian, seorang pria yang disebut dengan Abūl Juwairiyah menemui beliau dan dia adalah seorang yang tertuduh irjâ`, lalu ia berkata : “Wahai Abu ‘Abdillâh (Imâm Mâlik), dengarkanlah sesuatu dariku, aku akan bicara kepada anda, berargumentasi
dan menceritakan pemikiranku.” Imâm Malik bertanya, “Apabila engkau dapat mengalahkanku?”, dia menjawab, “Jika aku dapat mengalahkan anda maka anda harus mengikutiku.” Imâm Mâlik bertanya kembali : “Apabila ada orang lain yang berbicara kepada kita lalu mengalahkan kita?”, ia menjawab, “kita ikuti dia.” Lantas Imâm Mâlik berkata : “Wahai hamba Allah, Allah telah mengutus Muhammad ﷺ dengan agama yang satu. Sedangkan aku melihatmu adalah orang yang labil berpindah dari satu agama ke
agama lain.” ( al-Ibânah II/508).

Perkara agama ini menjadi perkara yang labil menurut mereka berpindah-pindah dari orang yang satu ke orang lain dan dari pemikiran yang satu ke pemikiran lainya. Dan inilah makna ucapan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz yang telah lewat sebelumnya.
«من جعل دينه غرضا
للخصومات أكثر التنقل»
“ Barangsiapa yang menjadikan agamanya hanya untuk perdebatan, maka lebih banyak labilnya.”

Mâlik berkata,
ُ«كان ذلك رجل (يشير إلى أحد السلف لم يسمِّه) إذا جاءه بعض هؤلاء أصحاب الأهواء قال : أمّا أنا فعلى بينة من ربي، وأما أنت فشاكٌّ، فاذهبْ إلى شاكًّ مثلك فخاصمه، قال مالك: وقال ذلك الرجل: يلبسون على أنفسهم ثم يطلبون من يعرِّفهم»
“Adalah orang tersebut (beliau mengisyaratkan kepada salah satu imam salaf tanpa menyebut namanya), apabila datang kepadanya sebagian orang pelaku hawa nafsu, beliau berkata : “Adapun saya, maka saya berada di atas keterangan dari Tuhanku, sedangkan anda dalam keadaan ragu dan mendatangi orang yang juga ragu seperti anda lalu anda debat.” Imâm Mâlik melanjutkan : “Imam tersebut berkata, “Mereka merasa bingung dengan keadaan mereka sendiri kemudian meminta tolong kepada orang yang mengetahui mereka.” ( al-Ibânah II/509).

Yaitu (orang yang mengetahui) agama mereka. Merasa rancu dengan keadaan mereka yaitu dengan keraguan dan dugaan para pelaku hawa nafsu dan sebagainya.

Kemudian mereka memohon kepada orang yang mengetahui agama mereka, yang akan
menghilangkan keragu-raguan yang menyelimuti mereka, namun mereka datangkan dari pendapat dan hawa nafsu akal seseorang.
Ishâq bin Isâ ath-Thobâ’ berkata,
«كان مالك بن أنس يعيب الجدال في الدين ويقول: كلّما جاءنا رجل أجدل من رجل أردنا أن نردّ ما جاء به جبريل الى النبي»

“ Mâlik bin Anas adalah orang yang mencela perdebatan di dalam agama, beliau berkata, “Tiap kali datang kepada kami seseorang yang gemar berdebat dengan orang lain. Kami berkeinginan membantah dengan apa yang diturunkan oleh Jibril kepada Nabi ﷺ.” ( al-Ibânah II/507).

Hasan al-Bashrî berkata,
«رأس مال المؤمن دينه، حيثما زال زال دينه معه، لا يخلفه في الرجال ولا يأتمن عليه الرجال»
“ Perbendahaaran harta paling bernilai seorang mukmin adalah agamanya. Apabila hartanya ini hilang, maka hilanglah agamanya besertanya. Ia tidak akan mau meninggalkannya untuk orang lain dan tidak pula mempercayakannya.” ( al-Ibânah II/509)

Beginilah keadaan ahlus sunnah, tidak ada seorangpun dari mereka yang menyandarkan agama dan aqidahnya kepada akal, hawa nafsu dan pemikiran manusia. Mereka hanya berpegang erat dengan Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ, menurut timbangan pemahaman salaful ummah.
Dzakwân berkata,
«كان الحسن البصري ينهى عن الخصومات في الدين، وقال إنما يخاصم الشاكّ في دينه»
“ Hasan al-Bashrî melarang perdebatan di dalam agama, beliau mengatakan bahwa hanya orang yang ragu saja yang berdebat dalam soal agamanya.” ( al Ibânah II/519).

Adapun orang yang tidak memiliki keraguan di dalam agamanya, maka ia tidak butuh sedikitpun
dengan berbagai bentuk perdebatan. Hisyâm bin Hasan berkata,
«جاء رجل إلى الحسن البصري، فقال : يا أبا سعيد تعال حتى أخاصمك في الدين، فقال الحسن: أما أنا فقد أبصرت ديني، فإن كنت أضللت دينك فلتمسه»
” Wahai Abu Sa’îd, kemarilah, saya ingin berdiskusi (baca: berdebat) dengan anda tentang masalah agama.” Hasan al-Bashrî berkata, “Aku telah memahami agamaku (secara jelas). Jika anda merasa kehilangan dg agamamu, maka carilah.” ( al Ibanah : II/509).

Maksudnya adalah, pergilah dan carilah agamamu. Adapun saya adalah orang yang mantap dengan agamaku, tenang dan mengenalnya. Jadi, aku tidak butuh dengan pedebatan dan percekcokan.
Ahmad bin Sinân berkata,
جاء أبو بكر الأصمّ إلى عبد الرحمن مهدي فقال: أُناظرك في الدين، فقال: إن شككتَ غي شيئ من أمر دينك فقف حتى أخرج إلى الصلاة، وإلاّ فاذهب إلى عملك، فمضى ولم يثبت»
“ Abū Bakr al-Ashom mendatangi ‘Abdurrahman bin Mahdî lalu berkata, “Saya datang untuk berdiskusi dengan anda tentang masalah agama.” Ibnu Mahdî menjawab, “Jika engkau merasa ragu dengan sesuatu dari agamamu, berhentilah sampai aku keluar untuk untuk shalat, apabila tidak, kembalilah bekerja,” lalu orang tersebut berlalu dan tidak menetap.”
( al Ibânah II/538)

Di dalam kisah di atas, menunjukkan bahwa Ahlus sunnah menyibukkan diri dengan kebenaran yang mereka pegang, dengan beribadah kepada Allah Tabâroka wa Ta’âlâ.

Ibnu Mahdî berkata kepada Abū Bakr al-Ashom, “Jika ada hal yang kamu ragukan dari agamamu, berhentilah sampai aku keluar untuk untuk shalat,”
maksudnya adalah, “Saya terlalu sibuk dengan ketaatan kepada Allah, saya mau sholat dulu, berhentilah (di situ) sampai aku keluar untuk shalat dan aku tidak punya urusan denganmu. Jika kau tidak mau, kembalilah ke pekerjaanmu. Kemudian orang itu berlalu dan tidak mau menetap.”

Demikianlah sejumlah nukilan yang bermanfaat yang aku nukil dari kitab al-Ibânah karya Ibnu
Baththah al-‘Ukburî rahimahullâhu. Buku ini adalah buku yang agung di dalam pembahasan ini, dan kesemua nukilan dari ulama salaf rahimahumullâhu ini menjelaskan akan mantapnya agama mereka, stabilnya jiwa mereka dan kuatnya penjagaan dan perhatian mereka terhadap agama.

Mereka tidak menyandarkan agamanya kepada perdebatan dan percekcokan, atau pemikiran yang menyimpang dan lain sebagainya. Hal inilah yang menjadikan faktor utama mantapnya mereka terhadap kebenaran.
••• ════ ༻🌿༺ ════ •••

@abinyasalma
Sumber :
E-book “15 Faktor Penopang Mantapnya Aqidah”
📎 http://bit.ly/15faktor

Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk amal yang dicintai dan diridhai-Nya. Shalawat dan salam semoga juga dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu Álaihi Wasallam, segenap keluarga dan para sahabatnya.

MEDIA DAKWAH EUROMOSLIM: Buletin Terbit Setiap Hari Jum’at
EUROMOSLIM-AMSTERDAM
Indonesisch-Nederlandsche Moslim Gemeenschap–Amsterdam
Organisasi Keluarga Muslim Indonesia-Belanda di Amsterdam
EKINGENSTRAAT 3-7, AMSTERDAM-OSDORP

Amsterdam, 17 januari 2020 / 22 jumada al awwal 1441
Saran, komentar dan sanggahan atas artikel diatas kirim ke:
E-mail: Euromoslim-Amsterdam: media@euromoslim.org