14. Mengambil Ibroh dari Ahlul Ahwa’

Diantara (penyebab) mantapnya aqidah ahlus sunnah dan selamatnya dari penyimpangan adalah, mereka mau mengambil ibrah dan pelajaran dari keadaan ahli hawa terdahulu. Dikatakan di dalam sebuah pepatah,

«السَّعِيْدُ مَنِ اتَّعَظَ بِغَيْرِهِ»

“Seorang yang berbahagia itu adalah orang yang dapat mengambil pelajaran dari orang lain”. 

Ahli hawa yang meninggalkan Kitabullah dan Sunnah, menyebabkan mereka menjadi plin plan, menyimpang, labil (berubah-ubah) dan goyah, serta jauh dari kemantapan dan kekokohan. Tidak pernah anda dapati ada seorang ahli hawa yang mantap dan kokoh sikapnya, karena mereka ini terus menerus dan selamanya dalam keadaan labil.

Saya nukilkan di sini keterangan dari para ulama tentang pensifatan keadaan ahli ahwâ: Syaikhul Islam berkata,

أهل الكلام أكثر الناس انتقالا، من قول إلى قول، وجزما بالقول في موضع، وجزما بنقيضه وتكفير قاله في موضع آخر، وهذا دليل عدم اليقين، فإن الإيمان كما قال فيه قيصر لما سأل أباسفيان عمن أسلم مع النبي صلى الله عليه وسلم، قال: هل يرجع أحد منهم عن دينه سخطة له بعد أن يدخل فيه ؟ قال : لا، قال : وكذلك الإيمان إذا خالط بشاشته القلوب لا يسخطه أحد

“Ahli kalam adalah manusia yang paling sering berubah-ubah (labil) pendapatnya dari pendapat yang satu ke pendapat yang lain. Mereka menetapkan suatu pendapat di suatu tempat, namun di tempat lain mereka membantahnya dan mengkafirkan orang yang berpendapat dengannya. 

Ini merupakan dalil bahwa mereka tidak memiliki keyakinan, karena sesungguhnya iman itu sebagaimana yang dikatakan oleh Kaisar (Heraklius) ketika bertanya kepada Abū Sufyân tentang siapa saja yang turut masuk Islam bersama nabi ﷺ, ia berkata : “Adakah seorang diantara mereka yang kembali dari agamanya disebabkan karena ia murka kepadanya setelah ia masuk ke dalamnya?”

Abū Sufyân menjawab, “Tidak”. Kaisar berkata, “Demikianlah keimanan itu, apabila telah merasuk ke dalam sanubari hati seseorang, tidak ada seorangpun yang murka padanya.” (Majmū’ Fatâwâ IV/50).

Di dalam kisah di atas terhadap ibrah dan pelajaran tentang keadaan Ahli ahwâ bahwa mereka tidak memiliki kemantapan dan konsistensi, namun mereka senantiasa berada di dalam kelabilan dan kegoncangan.

Termasuk sifat yang dijelaskan oleh para ulama tentang keadaan ahli ahwâ adalah, ucapan Abū

Muzhoffar as-Sam’ânî yang dinukil oleh at-Taimî dan Ibnul Qoyyim, beliau berkata,

وأما إذا نظرت إلى أهل الأهواء والبدع رأيتهم متفرقين مختلفين، أو شيعا وأحزابا، لا تكاد تجد اثنين منهم على طريقة واحدة في الاعتقاد، يبدع بعضهم بعضا، بل يرتقون إلى التكفير، يكفرالابن أباه والرجل أخاه، والجار جاره، تراهم أبدا في تنازع وتباغض واختلاف، تنقضي أعمارهم ولم تتفق كلماتهم

“Apabila anda memperhatikan keadaan ahli ahwâ , anda dapati mereka ini dalam keadaan berpecah belah dan berselisih, bergolong-golongan dan berpartai. Tidak mungkin anda temukan ada dua orang diantara mereka yang berada di atas satu manhaj di dalam masalah aqidah, mereka saling membid’ahkan satu dengan lainnya. Bahkan mereka sampai jatuh kepada pengkafiran, seorang anak sampai mengkafirkan ayahnya, seorang mengkafirkan saudaranya dan tetangganya. Anda lihat mereka senantiasa dalam keadaan saling bertikai, membenci dan berselisih. Habis umur mereka namun mereka tidak pernah bersatu.” (Mukhtashor ash Showâiq al-Mursalah karya Ibnul Qoyyim hal. 518).

Syaikhul Islam berkata menjelaskan sifat ahli ahwâ,

وأيضا المخالفون لأهل الحديث، هم مظنة فساد الأعمال، إما عن سوء عقيدة ونفاق، وإما عن مرض في القلب وضعف إيمان، ففيهم من ترك الواجبات، واعتداء الحدود، والاستخفافبالحقوق وقسوة القلب ما هو ظاهر لكل أحد، وعامة شيوخهم يرمون بالعظائم، وإن كان فيهم من هو معروف بزهد وعبادة، ففي زهد بعض العامة من أهل السنة وعبادته ما هو أرجح مما هوفيه، ومن المعلوم أن العلم أصل العمل، وصحة الأصول توجب صحة الفروع

“Mereka juga senantiasa menyelisihi Ahli hadits, mereka adalah tempatnya kerusakan amal, bisa jadi berasal dari aqidah yang jelek dan nifaq, dan bisa jadi pula dari hati yang sakit dan iman yang lemah. Diantara mereka ada yang meninggalkan perkara wajib, melanggar batas, meremehkan hak dan hati yang kesat, yang tampak pada setiap orang dari mereka. Secara umum guru-guru mereka gemar melakukan dosa besar, walaupun ada diantara mereka yang dikenal dengan kezuhudan dan ibadahnya. Sesungguhnya, zuhud dan ibadahnya orang awam Ahlus sunnah lebih baik daripada mereka. Suatu hal yang telah diketahui bersama, bahwa ilmu itu adalah pondasinya amal, dan benarnya suatu pondasi mengharuskan benarnya furu’ (cabang amal). ( Majmū’ Fatâwâ IV/53)

Ibrâhîm an-Nakho’î berkata :

«كانوا يرون التلون في الدين من شكّ القلوب في الله عزّ وجلّ»

“Para salaf memandang bahwa bersikap plin plan di dalam agama merupakan keraguan hati terhadap Allah Azza wa Jalla.” ( al-Ibânah karya Ibnu Baththoh II/502)

Mâlik bin Anas berkata,

«الداء العُضال، التنقّل في الدين»، وقال: «قال رجل : ما كنت لاعبًا به، فلا تلعبنَّ بدينك»

“Penyakit yang paling mematikan adalah, sikap labil di dalam agama.” Beliau berkata, “Seorang pria berkata, “Aku tidak pernah bermain-main dengan agama maka janganlah kamu sekali-kali bermain-main dengan agamamu.” ( al-Ibânah II/506 )

Barangsiapa memperhatikan keadaan ahli ahwâ, niscaya ia akan mendapati bahwa realita keadaan mereka adalah sedang bermain-main dengan agama dan labil (berubah-ubah pendirian). Pendapat, akal, pemikiran dan bentuk kelompok ini bermacam-macam dan berbeda-beda, tidak pernah mantap dan konsisten.

Sampai-sampai ada seorang lelaki dari ahlus sunnah datang kepada salah satu pembesar ulama Ahli kalâm yang sedang dirundung kebimbangan, keraguan, dan kegoncangan. Ahli kalâm itu bertanya (kepada ahlus sunnah tadi), “Apa yang anda yakini?”, pria itu menjawab, “Saya meyakini apa yang diyakini oleh kaum muslimin, yaitu yang datang dari Kitâbullâh dan Sunnah Rasul-Nya ﷺ.” 

Ahli Kalâm itu bertanya kembali, “Apakah anda merasa mantap dengan keyakinan itu dan berlapang dada?”, pria itu menjawab, “Iya.” Kemudian ulama Ahli kalâm itu berkata, “Adapun saya, demi Allah saya tidak tahu apa yang saya yakini? demi Allah saya tidak tahu apa yang saya yakini? Demi Allah saya tidak tahu apa yang saya yakini?” sembari menangis tersedu-sedu hingga basah jenggotnya.” (Lihat Syarhul Aqîdah ath Thahâwiyah hal. 246).

Hal ini disebabkan karena urusan mereka adalah berdebat, berdiskusi dan sebagainya. Siapa saja yang  memperhatikan keadaan ahli ahwâ, ia akan dapat memetik pelajaran dan ibrah dari mereka, 

sebagaimana perkataan pepatah sebelumnya,

«السعيد من اتّعظ بغيره»

“Seorang yang berbahagia itu adalah orang yang dapat mengambil pelajaran dari orang lain”. 

Ahlus sunnah dengan segala pujian bagi Allah adalah berada di atas sunnah, ia senantiasa meminta kepada Allah Tabâraka wa Ta’âlâ supaya memantapkannya di atas sunnah.

••• ════ ༻?༺ ════ •••

Sumber: Buku “15 Faktor Penopang Mantapnya Aqidah”

Judul Asli: “Tsabat Aqidah as-Salaf wa Salamatuha min at-Taghayyurat”karya Syaikh Abdurrazzaq al-Badr

Alih Bahasa: Abu Salma Muhammad (alwasathiyah.com)

EUROMOSLIM-AMSTERDAM
Indonesisch-Nederlandsche Moslim Gemeenschap–Amsterdam
Organisasi Keluarga Muslim Indonesia-Belanda di Amsterdam
EKINGENSTRAAT 3-7, AMSTERDAM-OSDORP
Amsterdam, 29 Desember 2018 / 22 Rabi’ul Akhir 1440

Saran, komentar dan sanggahan atas artikel diatas kirim ke:
E-mail: Euromoslim-Amsterdam: media@euromoslim.org