السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-24 dalam mengkaji kitāb بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu ‘uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi’ al Akhyār) yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa’dī rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-23, hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Qatādah radhiyallāhu ta’āla ‘anhu.
Beliau mengatakan:
قَالَ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِي اَلْهِرَّةِ : إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ، إنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ و الطَّوَّافَاتِ
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda tentang kucing, “Sesungguhnya kucing itu bukanlah najis, karena sesungguhnya ia termasuk hewan yang biasa berkeliaran (berdekatan) dengan kalian” (Hadīts riwayat Imām Mālik, Imām Ahmad dan yang lainnya)
Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa’dī rahimahullāh menjelaskan, bahwa hadīts ini mengandung dua kaidah yang utama, yaitu:
( أن المشقة تجلب التيسير)
⑴ Bahwasanya kesulitan itu adakalanya menjadi sebab kemudah di dalam hukum syari’at.
Dan ini merupakan salah satu kaidah yang penting di dalam syari’at Islām, dalam hal ini Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menghukumi hewan yang biasa berdekatan dengan manusia dan susah untuk dihindari atau dijauhkan dihukumi sebagai hewan yang suci.
Sehingga benda-benda yang tersentuh oleh mulut, bulu atau liur hewan ini tidak harus dicuci karena hewannya suci.
Contohnya;
⇒ Kucing dan hewan-hewan yang semisal yang biasa berdekatan dengan manusia dan susah untuk dihindari dari kehidupan mereka (biasa berkeliaran).
Kaidah ini merupakan kaidah yang agung di dalam syari’at dimana sesuatu yang sekiranya bisa menimbulkan kesulitan pada manusia, maka syari’at memberikan kemudahan-kemudahan di dalam hukumnya.
Contoh lain;
⇒ Bolehnya beristijmār (menghilangkan sisa kotoran setelah buang air kecil ataupun air besar) dengan menggunakan benda yang padat tidak harus dengan air.
Seperti menggunakan batu, tisue atau benda lain yang bisa menghilangkan kotoran tersebut.
Contoh lain;
⇒ Pada permasalahan dimaafkannya darah yang menempel pada daging.
Setelah hewan disembelih ada kalanya masih ada sisa-sisa bercak darah di sekitar daging yang susah untuk dihilangkan secara keseluruhan.
Maka darah seperti ini termasuk darah yang dimaafkan dan boleh daging tersebut untuk dikonsumsi (dimakan).
Meskipun hukum asalnya darah adalah najis haram untuk dimakan, akan tetapi karena itu merupakan sisa-sisa darah yang susah jika harus benar-benar hilang, maka syari’at memberikan kemudahan dengan cara memaafkan hal tersebut.
Demikianlah beberapa contoh perkara-perkara yang ada di dalam syari’at yang menunjukkan bahwasanya sesuatu hal yang sekiranya memberikan (mendatangkan) kesulitan kepada manusia, maka syari’at ini menetapkan adanya kemudahan di dalam hukumnya.
⑵ Hewan seperti kucing atau hewan semisal yang merupakan hewan yang biasa berkeliaran di dekat manusia sehingga susah untuk terhindari.
Maka hewan-hewan seperti ini dihukumi sebagai hewan yang suci, ketika hewan tersebut masih hidup, sehingga tidak menajiskan benda-benda yang tersentuh, baik itu makanan, minuman ataupun pakaian dan benda-benda lain, dan benda-benda tersebut tidak harus dicuci karena hewannya adalah hewan yang suci.
Contohnya: Tikus
Tikus dihukumi sama dengan kucing karena termasuk hewan yang biasa berkeliaran disekitar manusia dan diqiyāskan dengan kucing.
Kemudian Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa’dī juga menyebutkan di sini, bahwasanya hewan ini terbagi menjadi lima kategori dilihat dari suci atau tidaknya ketika hewan tersebut hidup maupun setelah hewan tersebut mati.
Di antara lima kategori itu, adalah:
⑴ Hewan yang najis baik ketika hidup maupun setelah mati dan kenajisannya ada pada dzatnya (tubuh, kotoran maupun hal-hal yang keluar dari tubuhnya seperti liur, keringat, kencing dan kotorannya) tentunya semua ini najis.
Yang masuk kategori ini adalah anjing, hewan-hewan buas yang lain, serta babi.
Maka benda-benda yang tersentuh oleh benda-benda ini, harus dicuci.
⑵ Hewan yang suci ketika hidup, namun menjadi najis setelah hewan tersebut mati dan hewan tersebut tidak boleh untuk dimakan.
Contohnya; Kucing dan hewan yang semisal
Namun perlu kita ketahui maksud hewan tersebut adalah suci ketika hidup (seperti) bulu, tubuh, air liur, keringatnya adalah suci. Adapun darahnya, air kencing kotoran dan muntahnya maka ini dinyatakan sesuatu yang najis.
Karena hadīts yang sedang kita bahas pada halaqah ini, hadīts ini disebutkan oleh Abū Qatādah radhiyallāhu ta’āla ‘anhu tatkala istri beliau melihat ada kucing yang minum dari air yang sudah disediakan untuk berwudhū’.
Maka Abū Qatādah radhiyallāhu ta’āla ‘anhu menyebutkan hadīts ini, bahwasanya air liur kucing bukanlah suatu yang najis sehingga tidak menyebabkan air tersebut najis, adapun kotoran, kencing dan muntah dan darahnya maka para ulamā menyatakan sesuatu yang najis.
Ini berlaku pada kucing dan hewan lain yang tidak boleh dimakan meskipun disembelih karena syari’at mengharamkan hewan-hewan tersebut untuk dimakan
Seperti; Kucing, tikus, dan hewan lain yang semisal dalam hukumnya.
⑶ Hewan yang suci ketika hidup dan setelah mati, akan tetapi hewan tersebut tidak halal untuk dimakan.
Contohnya; Hewan-hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti lalat dan yang semisal.
Maka hewan-hewan seperti ini, tidak boleh dimakan akan tetapi tetap dinyatakan sebagai hewan yang suci setelah hewan tersebut mati.
Jika ada lalat mati di dalam air minum, maka air tersebut tidak dinyatakan sebagai air yang najis, air tersebut masih boleh digunakan (air tersebut suci).
⑷ Hewan yang suci ketika hidup dan setelah mati, hewan ini halal untuk dimakan apabila disembelih.
Contoh; Hewan-hewan ternak seperti sapi, kambing dan yang lainnya.
⑸ Hewan yang suci ketika hidup dan setelah mati baik dengan cara disembelih ataupun tidak disembelih, maka hewan tersebut suci dan boleh dimakan (Hewan yang tidak perlu untuk disembelih untuk memakannya).
Contoh;
√ Hewan yang hidup di air atau di laut atau hewan yang tidak bisa hidup kecuali di air.
√ Belalang.
Demikian pembagian hewan yang beliau (Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa’dī rahimahullāh) sebutkan dalam permasalah ini.
Kemudian beliau juga menyebutkan bahwasanya kebanyakan ulamā berdalīl dengan hadīts ini tentang sucinya keringat dan air liur keledai.
Kenapa?
Karena ilahnya (sebabnya) sama, termasuk hewan yang biasa bersama manusia dan susah untuk dihindari, maka mau tidak mau manusia akan bersentuhan dengan hewan tersebut baik liurnya maupun keringatnya sehingga dihukumi sebagai hewan yang suci.
Wallāhu Ta’āla A’lam.
Demikian yang bisa kita bahas pada halaqah kali ini, in syā Allāh kita lanjutkan hadīts berikutnya pada halaqah yang akan datang.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلموالسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
BimbinganIslam.com
Rabu, 13 Rabi’ul Awwal 1440 H / 21 November 2018 M
Oleh: Ustadz Riki Kaptamto Lc
Dari: Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi’ al Akhbār
Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk amal yang dicintai dan diridhai-Nya. Shalawat dan salam semoga juga dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu Álaihi Wasallam, segenap keluarga dan para sahabatnya.
MEDIA DAKWAH EUROMOSLIM: Buletin Terbit Setiap Hari Jum’at
EUROMOSLIM-AMSTERDAM
Indonesisch-Nederlandsche Moslim Gemeenschap–Amsterdam
Organisasi Keluarga Muslim Indonesia-Belanda di Amsterdam
EKINGENSTRAAT 3-7, AMSTERDAM-OSDORP
Amsterdam, 15-februari- 2019 / 10 jumada tsani 1440
Saran, komentar dan sanggahan atas artikel diatas kirim ke:
E-mail: Euromoslim-Amsterdam: media@euromoslim.org