السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد الله وصلاة و السلام على رسول الله أما بعد

Pada kesempatan kali ini, kita akan membicarakan hukum menggunakan bejana yang dimiliki oleh orang kafir. Kemudian selanjutnya akan berbicara tentang hukum menggunakan kulit binatang yang sudah mati atau bangkai untuk kebutuhan sehari-hari. Seperti untuk bejana, jaket, sabuk atau yang lainnya.

Bejana Orang Kafir

Yang pertama kita akan berbicara tentang hukum menggunakan bejana milik orang kafir.

Pada dasarnya menggunakan bejana milik orang kafir seperti misalnya piring, sendok, gelas ataupun ember dan yang lainnya hukumnya adalah halal, boleh kita gunakan. Hukumnya pada dasarnya suci dan tidak najis, kecuali jika ada informasi yang meyakinkan kita bahwasanya pada bejana tersebut terkena benda yang najis ataupun terkontaminasi najis. Dan ketika itu barulah kita tidak boleh menggunakan bejana orang kafir tersebut kecuali setelah kita cuci terlebih dahulu.

Dalīlnya adalah hadīts dari sahabat Abi Tsa’labah Al Khusyani, beliau mengatakan:

قلت: يارَسُولَ الْلَّهِ، إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ
_”Ya Rasūlullāh, kami hidup di tengah-tengah Ahlul Kitab.”_

أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ؟
_”Apakah boleh kami makan dari piring-piring  (menggunakan piring-piring) mereka?”_

قَالَ: “لَا تَأْكُلُوا فِيهَا
إِلَّا أَنْ لَا تَجِدُوا غَيْرَهَا
_Nabi menjawab, “Jangan kalian makan menggunakan bejana-bejana atau piring-piring mereka kecuali kalau kalian tidak mendapatkan bejana untuk makan kecuali milik mereka, maka silakan dipakai.”_

فَاغْسِلُوهَا
_”Akan tetapi cuci terlebih dahulu.”_

تم كُلُوا فِيهَا
_”Barulah silakan gunakan untuk makan.”_
(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 5478 dan Muslim nomor 1930)

Karena Abu Tsa’labah ketika itu berada di tengah masyarakat ahlul kitab yang dikenal tidak hati-hati dalam menjaga najis, sehingga Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam memperbolehkan makan dari bejana mereka tapi dengan syarat dicuci terlebih dahulu.

Adapun jika tidak ada informasi yang meyakinkan kita bahwasanya pada bejana orang kafir itu tidak terkena najis, kita tidak tahu apakah najis atau tidak dan tidak ada informasi yang menguatkan bahwasanya ini adalah najis, maka kembali ke hukum asal yaitu boleh memakai bejana orang kafir.

Indikatornya, ketidak tahuan kita tentang status kenajisan atau kesucian bejana orang kafir itu sebelum kita gunakan adalah kita berada di sekitar orang-orang kafir atau bertetangga dan orang-orang kafir yang kita tahu mereka tidak berinteraksi langsung dengan benda-benda najis.

Misalnya dia tidak memelihara anjing, kita tahu dia juga tidak makan babi atau tidak memelihara babi atau tidak suka daging babi. Ini bisa dijadikan indikasi atau qorinah bahwasanya tetangga kafir tersebut dia tidak berinteraksi langsung kepada benda-benda najis.

Di sini dibolehkan, kembali kepada hukum asal yaitu boleh dan suci. Sehingga tidak perlu dikroscek lagi, digali lagi informasi. Dan ini langsung kembali kepada hukum asal.

Berubah menjadi terlarang ketika ada informasi yang meyakinkan orang tersebut. Orang kafir itu berinteraksi langsung dengan benda najis. Baru seperti ini tidak boleh kecuali dicuci terlebih dahulu. Seperti kita tahu, dia memelihara anjing, dia suka makan babi atau memelihara babi bahkan.

Ini jelas, Ini ada informasi meyakinkan bahwa dia terkena langsung oleh benda-benda najis.

Dalīl yang menunjukkan bahwa hukum asal bejana orang-orang kafir itu suci selama tidak ada informasi yang meyakinkan bahwasanya bejana mereka itu najis Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan para Sahabat, mereka pernah berwudhu menggunakan bejana yang disiapkan oleh seorang wanita musyrikah. Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla juga telah menghalalkan, ini dalīl yang kedua. Allāh menghalalkan sembelihan-sembelihan ahlul kitab.

Yang ketiga, Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam pernah diundang oleh seorang hamba (anak dari penganut agama Yahudi) untuk memakan roti yang terbuat dari gandum dan dicampur (bersamaan) dengan lemak yang sudah berubah rasanya. Lalu Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam pun makan dari bejana yang disiapkan oleh orang Yahudi itu.

Berikutnya, para sahabat BiAS yang kami muliakan.

Pembahasan tentang hukum mempergunakan kulit-kulit hewan untuk keperluan sehari-hari. Seperti untuk jaket. Kalau dalam masa lalu,  untuk keperluan bejana (mangkuk, piring, dll) Kalau zaman sekarang kulit-kulit hewan digunakan untuk jaket, sepatu, sabuk dan lainnya.

Bagaimana hukum menggunakan (memakai) kulit hewan yang sudah mati seperti itu?

Maka jawabannya adalah untuk kulit hewan bangkai, maka pada dasarnya kulit tersebut najis namun bisa menjadi suci ketika kulit tersebut disamak.

Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan,

إيماإهاب دبغ فقد طهر
_”Kulit bangkai jika telah disamak maka kulit tersebut menjadi suci tidak lagi najis.”_
(Hadīts riwayat At Tirmidzi nomor 1650)

Dan disebutkan  dalam hadīts lain, Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam pernah ketika Beliau berjalan Beliau melihat seekor bangkai anak kambing. Lalu Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan  kepada para Sahabat:

هَلَّا أَخَذُوا إِهَابَهَا فَدَبَغُوهُ ، فَانْتَفَعُوا بِهِ ؟
_”Tidaklah mereka mengambil kulitnya lalu menyamaknya sehingga mereka bisa mendapatkan manfaat dari kulit itu?”_

فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّهَا مَيْتَةٌ
_Kemudian mereka menegaskan, “Wahai Rasūlullāh, inikah sudah menjadi bangkai?”_

قَالَ : ” إِنَّمَا حُرِّمَ أَكْلُهَا
_”Iya, bangkai itu haram dimakan.”_

Tetapi kulitnya boleh dimanfaatkan asalkan sudah ditibak ataupun sudah disamak.

Kemudian kalau kulit hewan yang disembelih secara halal maka kulitnya otomatis menjadi kulit yang suci dan boleh dimanfaatkan. Tentu ini berlaku pada hewan yang halal dimakan.

Jadi saya simpulkan lagi untuk status kulit hewan yang halal untuk makan ada dua keadaan:

⑴ Jika dia sebagai bangkai, belum disembelih secara syari sudah wafat, maka jangan dibuang (dikubur) semuanya.

Kulitnya silakan diambil lalu dagingnya dikuburkan. Karena bangkai itu yang haram untuk dimakan adalah dagingnya. Kalau kulitnya boleh dimanfaatkan dengan syarat sudah disamak

Samak adalah satu proses yang ma’ruf ataupun dikenal oleh ahli jagal. Menggunakan tumbuhan (ramuan) tertentu. Ada yang menggunakan garam, ada dengan cara direbus, dibakar atau disamak sehingga kotoran-kototan darah terlepas, lemak-lemak yang menempel kepad kulit sudah menjadi hilang. Itu keadaan yang pertama.

⑵ Untuk kulit hewan yang halal dimakan dan dia bukan sebagai bangkai artinya disembelih secara  halal sebagaimana binatang-binatang kurban, maka kulitnya halal walaupun tidak didibak. Artinya halal, suci, boleh dipakai walaupun tanpa disamak

Berikutnya adalah untuk kulit binatang yang haram dimakan, seperti kulit buaya, kulit ular. Yang sering dipakai adalah kulit buaya dan kulit ular itu yang paling awet.

Ada juga yang memakai kulit babi maka bagaimana statusnya?

Untuk kulit hewan yang haram dimakan maka hukumnya haram dan najis meskipun didibak. Baik disamak ataupun tidak, maka hukumnya najis dan tidak boleh dipakai. Dan tidak boleh seseorang menjadi jaket yang terbuat dari kulit buaya, sabuk terbuat dari kulit ular, tas terbuat dari kulit babi ( misalnya), Na’ūdzu billāhi min dzālik.

Maka ini tidak boleh. Baik setelah disamak apalagi belum disamak, hukumnya tetap najis.

Inilah hukum figih yang berlaku pada kulit hewan yang diharam dimakan, bagaimanapun keadaannya maka hukumnya haram.

والله أعلمُ بالـصـواب
____________________
BimbinganIslam.Com
Senin, 29 Syawwal 1443 H/ 30 Mei 2022 M
Ustadz Ustadz Ahmad Anshori, Lc
Kitāb Al-Fiqhu Al-Muyassar (الفقه الميسر)
Halaqah 06 : Bejana Orang Kafir Dan Bejana Dari Bangkai
————————————————————
*MEDIA DAKWAH EUROMOSLIM: *
*Buletin Terbit Setiap Hari Jum’at *

*Amsterdam, 12-Agust-2022 / 14 muharram 1444*

*Saran, komentar dan sanggahan atas artikel diatas kirim ke: E-mail: Euromoslim-Amsterdam: * *media@euromoslim.org*