( Kitab ‘Asyratu Asbab Linsyirahis Shadr)
Syaikh Abdurrazaq ibnu Abdil Muhsin Al-Badr hafidzahullahu

*Dada Yang Allah Sempitkan- Halaqah 2*
•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله رب الـعـالـمـيـن والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أما بعد

Ikhawaniy wa Akhawatiy, Saudara Saudariku kaum Muslimin di manapun berada, semoga kita semua dilimpahkan rahmat oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Lalu Syaikh melanjutkan, adapun jika Allāh _Subhānahu wa Ta’āla_ menyempitkan hati seorang hamba maka urusan hamba tersebut akan menjadi kacau sehingga ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya dan aktifitas kesehariannya tidak akan mengarah kepada kebaikan, bahkan ia akan selalu merasa khawatir, gundah, dan sedih.

Itu adalah seperti yang kita sampaikan sebelumnya bahwa ketika _Allāh memberikan beberapa nikmat kepada seorang hamba dan seorang hamba tersebut menjadi lalai dan terkecoh karena pemberian Allāh ini, maka disitu bukan rasa lapang dada namun itu adalah kesempitan hati, kesempitan dada yang Allāh berikan kepada dia berupa ujian._

Apakah dengan adanya nikmat ini dia akan terus menerus lalai ataukah ketika dia mendapatkan rezeki ini, mendapatkan nikmat ini, dia akan bersemangat di dalam beribadah kepada Allāh _Subhānahu wa Ta’āla._? Maka bisa kita ambil kesimpulan bahwasanya lapang dada adalah sebab terbesar yang dapat menolong seorang hamba di dalam mencapai tujuannya serta meraih semua keinginannya.

Maka dari itu ketika Allāh _Subhānahu wa Ta’āla_ memerintahkan Nabi-Nya Musa _alayhissalām_ pergi untuk menemui Fir’aun dalam rangka mendakwahinya dan memberikan peringatan kepadanya, bahkan konsekuensi dari kecongkakannya Musa _alayhissalām_ berdoa menengadahkan wajahnya ke langit.

رَبِّ ٱشۡرَحۡ لِي صَدۡرِي ۞وَيَسِّرۡ لِيٓ أَمۡرِي
Nabi Musa alayhissalām berdoa, _”Wahai Rabbku, lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah semua urusanku.”_ (QS. Thaha: 25-26)

Karena tidak ada yang bisa membantu Nabi Musa _alayhissalām_ untuk dia bersemangat menjalankan perintah Allāh kecuali Allāh _Subhānahu wa Ta’āla_. Maka dari itu ketika kita mengetahui bahwa sumber lapang dada itu dari Allāh bukan dari nikmat atau bukan dari banyaknya harta atau banyaknya keturunan kita, maka kita terus meminta kepada Allāh _Subhānahu wa Ta’āla_ untuk dilapangan dada kita sehingga menerima semua yang Allāh berikan kepada kita, menerima semua perintah Allāh _Subhānahu wa Ta’āla_ tanpa membantahnya. Dan ini yang dicontohkan Nabi Musa _alayhissalām_ ketika beliau diperintahkan oleh Allāh _Subhānahu wa Ta’āla_ untuk mendakwahkan agama ini kepada Fir’aun yang congkak.

Dan Allāh _Subhānahu wa Ta’āla_ juga berfirman,

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ
_”Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu wahai Muhammad?”_ (QS. Al-Insyirah: 1).

Dari sini bisa kita ketahui juga bahwa sumber lapang dada itu dari Allāh _Subhānahu wa Ta’āla_. Bukan dari kekayaan harta benda di dunia ini. Tidak! Harta benda itu tidak kita bawa sampai mati, sedangkan rasa lapang dada jikalau Allāh telah tanamkan kepada hati kita walaupun kita tidak mendapatkan banyak harta di dunia ini, itu akan membuat hati kita lega, kita akan menerima, dan kita meyakini bahwa semua amalan kita walaupun belum diganjar oleh Allāh _Subhānahu wa Ta’āla_ dengan kenikmatan di dunia, itu akan digantikan dengan kenikmatan yang lebih besar di akhirat kelak. Dan itulah hakikat rasa lapang dada yang sebenarnya.

Lalu dari kedua ayat ini bisa _kita simpulkan bahwa lapang dada ini murni karunia dan pemberian dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang mana hanya Allāh berikan kepada yang ia kehendaki sehingga lapang dada adalah salah satu sebab terbesar dari hidayah. Dan menyia-nyiakan rasa lapang dada yang Allāh berikan kepada kita adalah salah satu sebab kesesatan._ Sebagaimana lapangnya dada adalah seutama-utamanya kenikmatan, maka menyia-nyiakannya adalah seberat-beratnya ujian.

Dan tidaklah mungkin kita bisa memperoleh kedudukan yang agung ini kecuali dengan memperhatikan agama kita, memperhatikan perintah-perintah Allāh _Subhānahu wa Ta’āla,_ menjalankannya dengan sebaik-baiknya. Dan tiap kali seorang hamba bersemangat dalam Istiqamah menjalankan agama ini dan berkomitmen dengan apa yang datang dengannya atau dengan apa yang datang dibawa oleh Rasūlullāh _shallallāhu ‘alayhi wa sallam_, maka dia akan layak mendapatkan kelapangan dada sesuai dengan apa yang dia perbuat.

Sebagaimana firman Allāh _Subhānahu wa Ta’āla,_

فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهْدِيَهُۥ يَشْرَحْ صَدْرَهُۥ لِلْإِسْلَـٰمِ ۖ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُۥ يَجْعَلْ صَدْرَهُۥ ضَيِّقًا حَرَجًۭا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى ٱلسَّمَآءِ ۚ كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ ٱللَّهُ ٱلرِّجْسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ {الأنعام:١٢٥}
_”Barangsiapa yang Allāh kehendaki baginya hidayah, maka Allāh akan lapangkan dadanya untuk menerima Islam.”_

Dan kita semua ketahui bahwa -InsyaAllāh- kita semua beragama Islam. Maka itu adalah salah satu tanda bahwa Allāh telah melapangkan dada kita. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan hal ini? Apakah dengan rasa lapang dada ini, kita menerima agama Islam ini? Kita menjadi taat menjalankan perintahnya atau kita lalai? Berleha-leha tidak melaksanakan shalat dan lain sebagainya.

Dan Allāh melanjutkan, _”Dan barangsiapa yang Allāh kehendaki kesesatan baginya, Allāh akan jadikan dadanya sempit dan sesak seakan-akan dia sedang mendaki ke langit.”_ (QS. Al-An’ām: 125).

Allāh _Subhānahu wa Ta’āla_ di sini menjelaskan bahwa saat seorang hamba, Allāh beri cobaan, berupa kesempitan hati, itu Allāh ibaratkan sebagaimana saat seorang itu sedang mendaki ke langit. Karena semakin kita ke atas, oksigen itu semakin sedikit, rasanya itu sangat sesak. Dan ketika Allāh memberikan rasa lapang di hati kita, itu sungguh nikmat yang sangat besar.

Walaupun Allāh tidak memberikan rezeki yang besar kepada kita, tetapi ketika kita menerima, kita merasa lapang dada, ikhlas menerima semua yang Allāh berikan, hati kita akan tenang, kita menjadi lega, dan tidak kufur nikmat, tidak mencela takdir, atau segala macamnya. Sungguh lapang dada ini murni karunia dari Allāh _Subhānahu wa Ta’āla_ yang tidak setiap hamba Allāh berikan hal tersebut.

Maka sudah sepantasnya kita meminta hanya kepada Allāh _Subhānahu wa Ta’āla_ dengan cara yang sesuai syari’atnya dan sesuai dengan yang Allāh turunkan di dalam Al-Qur’an maupun yang Allāh jelaskan melalui lisan Rasul-Nya di dalam hadits Nabi Muhammad _shallallāhu ‘alayhi wa sallam._

Dan yang bisa kita lakukan sebagai seorang mukmin adalah dengan terus berdoa kepada Allāh _Subhānahu wa Ta’āla_ serta menyandarkan semua urusan kita sepenuhnya kepada Allāh _Subhānahu wa Ta’āla_ agar Allāh lapangkan dada kita dan mudahkan urusan kita semua, sehingga Allāh _Subhānahu wa Ta’āla_ menuliskan kita menjadi salah satu hamba-Nya yang berbahagia di dunia dan di akhirat.

Kemudian Syaikh melanjutkan di muqaddimahnya dengan menyebutkan salah satu perkataan Imam Ibnul Qayyim _rahimahullāh_ yang mana artinya,

“Keadaan seorang hamba di alam kubur itu sebagaimana keadaan hati di dalam dada, baik itu merasakan kenikmatan ataupun merasakan kesengsaraan, rasa terkekang maupun rasa kebebasan.”

Lalu Ibnul Qayyim _rahimahullāh_ juga berkata disebutkan di dalam sebuah atsar yang terkenal, _”Bila mana cahaya masuk ke dalam hati, maka akan lapang hati tersebut dan menerima”,_ dikatakan kepadanya, _”Apa tandanya?”_ lalu dijawab, _”Mencukupkan diri dari dunia yang penuh tipuan, lalu yang kedua adalah condong kepada kehidupan abadi, dan yang ketiga menyiapkan diri menghadapi kematian sebelum kematian itu mendatanginya”._

Jadi apa? Ada tiga tanda yang akan tampak jelas pada seorang hamba bahwa dadanya itu lapang:

⑴ Mencukupkan diri dari dunia yang penuh tipuan. Sehingga kita tidak berlebih-lebihan di dalam urusan dunia, tidak terlalu mengejar kekayaan, tidak terlalu mengejar reputasi, tidak terlalu mengejar jabatan. Itu adalah tanda pertama jika Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengaruniakan rasa lapang dada kepada kita.

⑵ Condong kepada kehidupan abadi kehidupan akhirat. Yaitu kita memfokuskan diri kita hanya untuk beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, memfokuskan diri kita untuk apa-apa yang bermanfaat bagi kehidupan akhirat kita.

⑶ Menyiapkan diri menghadapi kematian sebelum kematian itu mendatanginya. Karena apa? Karena kita ketahui bersama bahwa amal ibadah yang dilakukan ketika nyawa sudah berada di kerongkongan itu tidak bermanfaat.

Sebagaimana yang Fir’aun lakukan ketika Allāh tenggelamkan Fir’aun dan dia merasa menyesal. Dan Allāh tidak menganggap itu sebagai keimanan karena itu telah berada di detik-detik terakhir kematian.

Maka dari itu yang wajib kita lakukan adalah _menyiapkan semua itu, menyiapkan amal ibadah untuk menghadapi kematian ini_.
InsyaAllāh cukup sekian di pertemuan kali ini dan di pertemuan-pertemuan berikutnya kita akan melanjutkan dengan menyebutkan satu persatu sebab-sebab yang InsyaAllāh secara syari’at itu merupakan sebab-sebab kita mendapatkan rasa lapang dada sesuai dengan yang Allāh perintahkan dan sesuai dengan yang Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam ajarkan.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz Muhammad Idris, Lc hafidzhahullah
•══════◎❅◎❦۩❁۩❦◎❅◎══════•

Kitab ‘Asyratu Asbab Linsyirahis Shadr
Ustadz Muhammad Idris, Lc
Join Telegram* :https://t.me/ilmusyar1
———————————————————-​
Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk amal yang dicintai dan diridhai-Nya. Shalawat dan salam semoga juga dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu Álaihi Wasallam, segenap keluarga dan para sahabatnya.

MEDIA DAKWAH EUROMOSLIM: Buletin Terbit Setiap Hari Jum’at
EUROMOSLIM-AMSTERDAM
Indonesisch-Nederlandsche Moslim Gemeenschap–Amsterdam
Organisasi Keluarga Muslim Indonesia-Belanda di Amsterdam
EKINGENSTRAAT 3-7, AMSTERDAM-OSDORP

Amsterdam, 23 februari 2024 / 14 rajab 1445
Saran, komentar dan sanggahan atas artikel diatas kirim ke:
E-mail: Euromoslim-Amsterdam: media@euromoslim.org