السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله وصلاة وسلام على رسول الله وعلى آله وأصحبه ومن والاه، ولا حول ولاقوة الا بالله أما بعد

Ikhwaniy wa Akhawati A’ādzakumullāh.

Di pertemuan sebelumnya kita telah menjelaskan tentang orang yang diwajibkan berpuasa dan orang-orang yang tidak diwajibkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk melaksanakan puasa di bulan Ramadhān.

Pada pertemuan kali ini, In syā Allāh kita akan lanjutkan pembahasan tentang siapa-siapa saja yang tidak diwajibkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk berpuasa di bulan Ramadhān.

Orang yang tidak diwajibkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk melakukan puasa di bulan Ramadhān di antaranya adalah:

⑴ Musafir

Musafir atau orang-orang yang sedang berada dalam perjalanan. Baik safarnya lama atau sebentar, baik safarnya sesekali atau pun setiap hari dia safar.

Misalnya (seperti): Seorang pilot yang dia harus terus bersafar atau orang yang safar satu hari kemudian besoknya sudah kembali, atau orang yang safar pagi hari kemudian siangnya sudah kembali.

Maka orang seperti ini dibolehkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhān, namun dia harus menggantinya di hari yang lain.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ
_”Maka barangsiapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain di luar bulan Ramadhān.”_ (QS. Al Baqarah: 184)

Begitu juga Anas bin Malik radhiyallāhu ‘anhu dalam riwayat Al Bukhāri dan Muslim, beliau berkata:

كُنَّا نُسَافِرُ مع النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ علَى المُفْطِرِ، ولَا المُفْطِرُ علَى الصَّائِمِ.
_”Dahulu kami pernah bersafar bersama Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, diantara kami ada yang berpuasa dan ada yang berbuka. Dan orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka dan orang yang berbuka tidak mencela atau merendahkan orang-orang yang sedang berpuasa.”_
(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri).

Para ulama mengatakan, ketika seseorang safar, dia lihat keadaan dirinya. Kalau seandainya dia merasa dengan berpuasa ada maslahat untuk dirinya maka dia lakukan puasa. Ketika dia memandang berat baginya untuk melaksanakan puasa maka hendaklah dia berbuka.

Namun ketika keadaannya sama, puasa atau tidak sama saja baginya, tidak ada perbandingan yang terlalu besar yang membuat dia harus memilih untuk membatalkan atau berpuasa, maka para ulama mengatakan yang afdhal bagi dirinya adalah untuk tetap berpuasa karena itu lebih ringan baginya dan lebih cepat gugur kewajiban dari dirinya.

Adapun orang-orang yang safar lalu membuat dirinya sakit kalau seandainya dia berpuasa, maka haram baginya untuk melaksanakan puasa. Tidak boleh baginya untuk melaksanakan puasa kalau seandainya dia yakin dengan puasanya dia malah sakit (memudharatkan) dirinya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ
_”Bukanlah merupakan sebuah kebaikan (amal shalih) berpuasa ketika Safar.”_
(HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115)

Ini bagi orang yang ketika dia safar lalu dia berpuasa dan dia tahu dirinya tidak sanggup untuk itu, malah menyebabkan dirinya sakit, maka orang seperti ini tidak boleh untuk melaksanakan puasa.

Diantara orang-orang yang diberikan udzur oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk tidak berpuasa lainnya adalah:

⑵ Orang Sakit

Orang yang sakit yang seandainya dia berpuasa akan memperlama kesembuhannya atau akan menambah sakitnya, maka orang seperti ini boleh untuk berbuka (tidak berpuasa) sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla:

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ
_”Barangsiapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.”_
(QS. Al Baqarah:184)

Maka orang yang sakit ketika sakitnya itu memudharati dirinya, hendaklah dia membatalkan puasanya (dia tidak ikut berpuasa) namun dia menggantinya di hari yang lainnya.

Adapun orang yang sakit yang divonis dokter bahwasanya penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan, maka untuk orang seperti ini para ulama katakan hukumnya sama seperti orang yang telah lansia (lanjut usia) yang tidak sanggup lagi untuk melaksanakan puasa.
Yaitu tidak berpuasa dan mengganti puasanya dengan cara membayar fidyah (bagi orang yang sakit dan tidak diharapkan kesembuhannya).

Adapun orang yang sakit namun dokter mengatakan dia bisa sembuh, tidak divonis sebagai penyakit yang lama (penyakit yang tidak bisa disembuhkan), maka orang seperti ini dia membatalkan puasanya (dia tidak ikut berpuasa) lalu di hari yang lain setelah dia sembuh maka dia wajib menggantinya dengan puasa pada hari tersebut.

Wallāhu Ta’āla A’lam.

وصلى الله على نبينا محمّد وعلى آله وصحبه وسلم ثم السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
___________________
BimbinganIslam.Com
Selasa, 19 Sya’ban 1443 H/ 22 Maret 2022 M
Ustadz Muhammad Ihsan, M.HI
Kitāb Majalis Syahri Ramadhān (مجالس شهر رمضان) Mendulang Faidah Ilmu di Bulan Ramadhān Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Halaqah 09 : Puasanya Musafir dan Orang Sakit
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk amal yang dicintai dan diridhai-Nya. Shalawat dan salam semoga juga dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu Álaihi Wasallam, segenap keluarga dan para sahabatnya.

MEDIA DAKWAH : Edisi Khusus Ramadhan 1443-2022
EUROMOSLIM-AMSTERDAM
Indonesisch-Nederlandsche Moslim Gemeenschap–Amsterdam
Organisasi Keluarga Muslim Indonesia-Belanda di Amsterdam
EKINGENSTRAAT 3-7, AMSTERDAM-OSDORP

Amsterdam, 25 maret 2022 / 22 sya’ban 1443
Saran, komentar dan sanggahan atas artikel diatas kirim ke:
E-mail: Euromoslim-Amsterdam: media@euromoslim.org