الســـلامـ عليكــــمـ ورحمة الله وبركــــاته

Sekarang kita akan membahas kesyirikan yang berkaitan dengan tauhīd rububiyyah. 

Segala perkara yang menafi’kan ketauhīdan Allāh dalam penciptaan atau dalam kepemilikan atau dalam pengaturan maka seseorang akan terjerumus ke dalam kesyirikan dalam tauhīd rububiyyah.

Dan bentuk-bentuk kesyirikan dalam tauhīd rububiyyah banyak. Seperti mengingkari adanya Tuhan, meyakini bahwa Tuhan tidak ada.

▪Yang Pertama: penyimpangan yang dilakukan oleh orang atheis.

Orang atheis meyakini bahwasanya segala sesuatu terjadi dengan sendirinya.

“Kebetulan” adalah tuhan mereka.

Jika kita tanyakan, “Bagaimana terjadinya alam semesta?”

Maka mereka akan membuat teori-teori.

Oleh karenanya aneh sebenarnya, ahli fisika itu harusnya semakin dekat kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Tetapi malah mereka membuat teori-teori yang ingin menyatakan seakan-akan tuhan tidak mempunyai andil dalam penciptaan alam semesta.

Sehingga banyak fisikawan yang atheis. Yang harusnya seorang tatkala menemukan rumus, tatkala menemukan hal luar biasa, harusnya dia semakin berimān kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Contohnya, seorang dokter, tatkala dia melihat bagaimana organ tubuh, bagaimana cara kerja ginjal, dia akan tahu bahwa ini luar biasa. Harusnya  dia semakin berimān kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Harusnya fisikawan juga begitu, ternyata ada teori-teori rumus dalam alam semesta.

Tidak mungkin rumus alam terjadi dengan sendirinya. Rumus tersebut baru mereka ketahui sekarang, tapi sudah berlaku sejak zaman dahulu karena Tuhan yang mengatur.

Tapi ternyata setelah mendalami fisika, mereka semakin menghilangkan campur tangan Allāh dalam terjadinya alam semesta.

Sehingga sebagian dari mereka membuat teori-teori yang boleh kita terima, boleh tidak, karena semuanya hanyalah hipotesa (dugaan) belum tentu benar.

Tidak ada yang melihat terjadinya alam.

Misalnya mereka bikin teori big bang atau misalnya kata mereka, dulu ada benda besar dua berdekatan. Kemudian satunya meledak, satunya tidak. Kemudian yang meledak mengitari yang tidak meledak jadilah orbit.

Kita katakan, kalaupun kita benarkan teori tersebut, “Saya percaya dengan teori anda, tapi ini darimana datangnya dua barang tersebut?”

Mereka menjawab, “Terjadi dengan sendirinya.”

Ini tidak ilmiah, bahwa ada dua planet besar yang satu meledak.

Kenapa tidak satu saja? Kenapa tidak tiga? Kok cuma dua.

Dulu tidak ada? Atau langsung ada?

Jika langsung ada maka tidak ilmiah.

Lalu, kenapa satunya meledak sedangkan yang satunya tidak?

Siapa yang meledakkan, kebetulan?

Intinya mereka selalu mengatakan “kebetulan”, itu bukan Tuhan.

Tuhan seorang atheis adalah “kebetulan” jika demikian.

Kemudian mereka mempunyai teori baru lagi. Katanya ada zat kimia di udara, kemudian terkena petir atau apa, kemudian menjadi senyawa kimia, jatuh ke laut kemudian mengalami proses macam-macam evolusi atau apa dengan gaya bahasa mereka.

Setelah itu keluarlah sebagian ke daratan.

Di daratan kemudian mereka berevolusi, berubah, beradaptasi, jadilah jerapah, gajah, monyet dan bermacam-macam.

Sedangkan yang di laut tetap jadi ikan hiu, ikan paus, ikan macam-macam, kepiting, belut dan macam-macamnya.

Sandainya kita membenarkan teori tersebut, ke Mudi an yang menyediakan laut siapa? Lautnya dari mana?

Mereka menjawab, “Datang sendirinya, tiba-tiba muncul.”

Lalu yang memberi petir siapa?

Kemudian kok bisa satunya menjadi monyet, satunya menjadi kerbau, bagaimana ceritanya?

Jawab mereka, “Kebetulan saja.’

Tidak mungkin, jawaban “kebetulan” tidak masuk akal. 

Jadi tuhan mereka adalah “kebetulan” dan mereka tidak akan pernah bisa ilmiah, itulah orang-orang atheis.

وَفِي أَنفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

” Dan dalam jiwa kalian, tidakkah kalian melihat kebesaran Allāh?” (QS Adh Dhāriyat: 21)

Coba kita lihat jantung dalam tubuh manusia. Allāh ciptakan di balik tulang rusuk yang menjaga jantung tersebut di dalam.

Apakah itu terjadi kebetulan?

Jika kebetulan, bisa jadi jantungnya di luar.

Ini memang Allāh sudah ciptakan jantung kita di balik tempat yang kokoh dan macam-macamnya letaknya di sebelah situ.

Itu semua sudah diatur oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Oleh karenanya, orang-orang atheis itu hanyalah orang-orang yang mempertuhankan “kebetulan”.

Oleh karena itu, sering saya sampaikan tentang kisah seorang guru yang berusaha membodohi murid-muridnya dengan mengatakan:

“Kalian bilang Tuhan ada, saya juga bisa menciptakan. Lihatlah toples ini kosong, isinya cuma daging. 3 hari berikutnya akan saya ciptakan banyak ulat dalam toples ini.”

Maka tatkala 3 hari berikutnya dia datangkan toples tadi, benar banyak ulat.

“Ini saya sudah ciptakan ulat-ulat.”

Maka salah seorang muridnya berkata:

“Pak guru, kalau pak guru ciptakan ulat tersebut, jumlahmya berapa?Betinanya berapa? Jantannya berapa?”

Jika menciptakan seharusnya tahu. Kata Allāh:

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ

” Bukankan yang menciptakan tahu tentang apa yang dia ciptakan.” (QS Al Mulk: 14)

Maka Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:

وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا

 ” Tidak ada satu daunpun yang jatuh kecuali Allāh tahu.” (QS Al An’ām: 59)

Karena ini ciptaan Allāh, apa saja yang kita lakukan, gerak-gerik hati kita Allāh tahu, kenapa?

Karena kita ciptaan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Tidak ada satu daunpun yang jatuh di bumi Irian jaya dimanapun, di suku asmat, di tengah hutan, satu butir jatuh kecuali يَعْلَمُهَا  (Allāh juga tahu tentang berita daun tersebut).

Bagaimana jatuhnya, kapan jatuhnya, di mana jatuhnya. Allāh Maha Tahu, karena Allāh yang Maha Mengetahui segala ciptaan-Nya.

Ini diantara penyimpangan dalam tauhīd rububiyyah.

▪Yang kedua adalah penyimpangan yang dilakukan orang-orang falahsifah. 

Orang-orang falahsifah, mereka ini mengakui adanya Tuhan, tetapi mereka seakan-akan menghilangkan sifat penciptaan, Padahal ‘aqidah kita, Tuhan Allāh Subhānahu wa Ta’āla mencipta.

Dahulu Tuhan sendirian, Allāh Subhānahu wa Ta’āla atau Rabb kita, menciptakan alam semesta dengan berkata:

كُنْ فَيَكُوْنَ

Tidak ada satu makhluk pun yang bersamaan dengan Allāh. Tidak ada muncul bersamaan dengan Allāh, tidak ada.

Ada makhluk sejak zaman azali adalah pendapat dari orang-orang falahsifah. Mereka punya keyakinan namanya qidamil alam. Bahwasanya alam itu qadim (bersama zat Allāh Subhānahu wa Ta’āla).

Logika mereka, mereka mengatakan Allāh dengan nama al ilah, al fā’ilah, al illah tammah.

Kata mereka, “Allāh itu adalah sebab pelaku yang Maha Sempurna dan di antara kesempurnaan illāh tersebut, illāh tersebut akan memunculkan ma’lulnya, akibatnya saking sempurnanya bersamaan dengan illāhnya tidak ada tarākhi, tidak ada waktu jeda, tidak ada.”

Bagaimana?

Mereka melogikakan seperti matahari. Matahari itu ada beserta dengan sinarnya. Bukan matahari dulu sinarnya belakangan, tidak.

Kata mereka, demikian juga Allāh langsung ada dengan makhluk-Nya, karena Allāh sempurna  sehingga tatkala Allāh Subhānahu wa Ta’āla menciptakan makan tidak ada waktu jeda sehingga makhluknya langsung ada bersama dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Ini juga adalah bentuk menafi’kan penciptaan Allāh karena mencipta itu pencipta ada dulu baru makhluk belakangan.

Tapi kalau makhluk ada bersamaan dengan pencipta itu namanya bukan ciptaan.

Oleh karenanya orang-orang falahsifah ini dikāfirkan oleh para ulamā karena mereka memiliki pemahaman qidamul ‘alam.

Pemahaman qidamul alam adalah bahwasnya alam ini secara azali sudah ada bersama dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Ini tidak benar!

Yang benar adalah Allāh ada dahulu kemudian Allāh menciptakan alam semesta.

Kita tahu kita dulu tidak ada, kemudian menjadi ada. Yang mana qidamul ‘alam?

Lalu 60 tahun yang lalu, kita tidak ada, 80 tahun lalu tidak ada.

Mana qidamul ‘alam? Tidak ada.

Kita termasuk ‘alam atau bukan? ‘Alam

Jika dikatakan bahwasanya Allāh harus sempurna, makhluknya harus selalu berada bersama Allāh tanpa ada jeda.

Jika demikian, bagaimana dengan manusia yang baru muncul sekarang?

Bukankah mereka baru muncul sekarang, dulu tidak ada. Mereka dahulu tidak ada, padahal mereka kita sepakat mereka diciptakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Sekarang baru muncul, sudah berapa juta tahun yang lalu atau ribuan tahun yang lalu baru muncul sekarang ?

Berarti Allāh menciptakan kapan Allāh kehendaki. Tidak harus makhluk-Nya sama bergandengan (bersamaan) dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Oleh karena itu Allāh menjelaskan dalam Al Qurān:

إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَن يَقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ

“ Jika Allāh menghendaki sesuatu, Allāh tinggal mengatakan, “Kun, fa yakūn.”

(QS Yāsin: 82)

Menunjukkan terjadi setelah ada jeda

كُن فَيَكُون

” Jadi,” maka jadilah

 

Bersambung ke bagian 5, in syā Allāh.


BimbinganIslam.com
Rabu, 23 Rajab 1438 H / 20 April 2017 M
Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA حفظه الله
Materi Tematik: Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah (Bagian 4 dari 13)