السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم يإحسان إلى يَوْمِ القيامة . أما بعد
Ikhwāni fīllāh wa akhwāti fiddīn azaniyallāh waiyyakum
Saya akan membahas perkara yang sangat penting yaitu tentang tauhīd Al Asma’ wa Sifat, tentang bagian dari tauhīd nama-nama dan sifat-sifat Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Kita tahu bahwasanya para ulamā menjelaskan tentang pembagian tauhīd menjadi 3 (tiga) yaitu:
⑴ Rububiyyah
⑵ Uluhiyyah
⑶ Asma’ wa Sifat
Pembagian ini sekedar metode untuk mudah memahami karena sejak zaman Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam sudah ada kesalahpahaman tentang ke-Esaan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Yaitu dilakukan oleh orang-orang musyrikin, mereka mentauhīdkan Allāh dari sisi pengakuan Allāh adalah:
- Maha Pencipta
- Maha Pemberi Rejeki
Tetapi mereka musyrik terhadap Allāh, mensyirikan Allāh, mensekutukan Allāh dari sisi peribadatan, sehingga mereka berdo’a kepada Allāh dan juga berdo’a kepada selain Allāh.
Mereka berhaji, mereka thawāf tapi mereka juga meminta kepada sesembahan-sesembahan mereka seperti Lattā, ‘Uzzā dan Manāh.
Dari sini perlu ada penjelasan mana sisi yang benar dan mana sisi yang salah. Sehingga secara otomatis terjadi pembagian.
Oleh karenanya diakhir surat Yūsuf, Allāh bercerita tentang orang-orang musyrikin Arab, kata Allāh Subhānahu wa Ta’āla:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
” Tidaklah kebanyakan mereka berimān kepada Allāh, kecuali mereka musyrik.”
(QS Yūsuf: 106)
Berarti Allāh menetapkan ada imān pada mereka dan Allāh tetapkan juga mereka musyrik.
Mana imān mereka dan yang mana syirik mereka?
Seluruh buku tafsir akan menyebutkan, berkata Ibnu Mas’ud, berkata para shahābat yaitu:
” Diantara keimānan mereka, kalau ditanya kepada mereka, Siapa yang menciptakan langit dan bumi?” Mereka akan mengatakan:
“Allāh Subhānahu wa Ta’āla”
Jadi mereka berimān dari sisi ini akan tetapi mereka berbuat syirik dari sisi mereka berdo’a dan beribadah yaitu juga kepada selain Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Dan dari sini akhirnya terjadi pembedaan.
Imān mereka disisi mana?
⇒Imān mereka dari sisi rububiyyah Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Mereka mengetahui bahwasanya Allāh Maha Pencipta dan ini sudah sejak zaman dahulu. Banyak orang-orang musyirikin yang namanya ‘Abdullāh.
Di zaman sebelum Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam lahir, di zaman kakek Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, tatkala Abrahah ingin menyerang Ka’bah, kakek Nabi yang bernama ‘Abdul Muththalib mengatakan:
” Saya pemilik unta, kembalikan unta saya wahai Abrahah, adapun Ka’bah ada pemiliknya yang akan menjaganya.”
Mereka berhaji, mereka thawāf. Meskipun thawāf mereka telanjang tetapi mereka mengenal Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Maka secara otomatis terjadilah pembagian, hanya sekedar untuk memudahkan menjelaskannya.
Timbullah istilah belakangan oleh para ulamā ada yang namanya tauhīd rububiyyah dan tauhīd uluhiyyah untuk menjelaskan.
Untuk tauhīd rububiyyah orang-orang musyrikin Arab dahulu mengetahui ke-Esaan Allāh dari sisi tauhīd rububiyyah. Namun mereka keliru dari sisi tauhīd uluhiyyah karena mereka menyembah Allāh dan juga menyembah selain Allāh.
Jadi metode ini hanya sekedar metode untuk memudahkan memahami. Memang benar Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak pernah mengatakan tauhīd terbagi menjadi 3 (tiga) atau tauhīd terbagi menjadi 2 (dua), tidak pernah!
Sama seperti Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak pernah mengatakan sesungguhnya hukum fiqih terbagi menjadi 5 (lima) yaitu: wajib, mandub, makruh, mubah, harām, tidak pernah!
Hanya para ulamā meneliti apa yang dilakukan oleh Nabi (hadīts-hadīts Nabi) dari dalīl-dalīl ternyata dipahami hukum fiqih bisa terbagi menjadi 5 (lima).
*Apa yang dimaksud dengan tauhīd asma’ wa sifat?*
⇒Artinya, tidak ada yang sama dengan nama-nama Allāh (‘asma ul husna), nama-nama Allāh yang terindah dan tidak ada yang menyerupai Allāh dari sifat-sifat Allāh.
Sifat-sifat Allāh berbeda dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Barangsiapa yang mengatakan ada sifat makhluk seperti sifat Allāh maka dia adalah seorang yang musyrik.
Itu maksudnya tauhīd asma’ maupun sifat, yaitu meng-Esakan Allāh dari sisi sifat-sifat Allāh, bahwasanya tidak ada makhluk yang sifatnya sama dengan Allāh.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
ۚ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
” Bahwasanya tidak ada satupun yang serupa dengan Allāh dan Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS Asy Syura: 11)
Perhatikan! Ini adalah ayat yang indah.
Allāh buka dengan kaidah muqadimmah, “Tidak ada satupun yang serupa dengan Allāh.” kemudian Allāh menetapkan, “Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Allāh memberi muqadimmah, “Tidak ada yang serupa dengan Allāh,” agar kita jangan sampai terbetik dalam benak kita bahwasanya Allāh melihat seperti melihatnya makhluk, Allāh mendengarnya seperti mendengar makhluk, jawabannya tidak sama.
Meskipun makhluk melihat, makhluk mendengar tetapi Allāh Maha Mendengar dan lagi Maha Melihat.
Sehingga dalam terjemahaan Al Qurān ada “Maha Mendengar” dan “Maha Melihat”.
Kenapa didatangkan kata Maha?
Yaitu untuk membedakan antara sifat Allāh dengan sifat makhluk.
Karena makhluk juga melihat dan mendengar, tetapi bedanya Allāh ada Mahanya. Padahal dalam bahasa Arab tidak ada Mahanya. Sama, makhluk itu السَّمِيعُ الْبَصِيرُ Allāh juga السَّمِيعُ الْبَصِيرُ, akan tetapi kita mengerti bila diterjemahkan harus dibedakan bahwa Allāh itu Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Bersambung kebagian 9, In syā Allāh
BimbinganIslam.com
Rabu, 06 Sya’ban 1438 H / 03 Mei 2017 M
Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
Materi Tematik: Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah (Bagian 8 dari 13)