السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم يإحسان إلى يَوْمِ القيامة . أما بعد

Ikhwāni Fīllāh wa Akhawāti Fīddīn azaniyallāh waiyyakum

Pada kesempatan kali kita akan membahas tentang kaidah-kaidah yang berkaitan tentang sifat-sifat Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

_▪Yang pertama dalam memahami Asma’ dan sifat-sifat  Allāh Subhānahu wa Ta’āla  *kita hanya bisa bersandarkan kepada dalīl yaitu Al Qur’ān dan Sunnah.*_

Tidak boleh kita menggunakan akal, kenapa?

Karena kita berbicara tentang sesuatu yang ghaib dan akal kita tidak bisa menembus suatu perkara yang ghaib.

Tidak usah kita berbicara tentang Allāh, berbicara tentang ruh saja kita tidak mampu.

Kata Allāh Subhānahu wa Ta’āla :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

“ Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu urusan Rabbmu dan kalian tidak diberi ilmu kecuali sangat sedikit.” (QS Al ‘Isrā’: 85)

Apabila orang-orang berkumpul berbicara tentang ruh, ada sedikit ulamā dikumpulkan diminta menjelaskan tentang hakikat ruh, dari unsur apa ruh, maka akan terjadi seribu pendapat. Karena otak mereka tidak sampai lantas mereka berbicara tentang ruh.

Ini perkara yang ghaib yang tidak bisa ditangkap oleh akal.

Tidak usah jauh-jauh, kita berbicara tentang hal ghaib lainya misalnya tentang jin. Kalau kita berbicara tentang jin kita tidak tahu bagaimana hakikat jin.

√ Jin itu bagaimana? 

√ Kenapa bisa masuk ke dalam tubuh manusia? 

√ Kenapa bisa berbicara dengan lisān manusia? 

√ Kenapa saat dibacakan Al Qur’ān terbakar? Kalau terbakar kenapa tidak ada api yang menyala? padahal jinn terbuat dari api. 

Ini semua ghaib tidak bisa kita ketahui kecuali dengan dalīl. 

Kemudian kita berbicara tentang malāikat, berbicara tentang malāikat ghaib juga.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla  mengatakan:

 الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۚ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ 

” Segala puji bagi Allāh pencipta langit dan bumi menjadikan para malāikat sebagai rasūl-rasūl Allāh yang memiliki sayap-sayap, ada yang memiliki dua sayap, tiga sayap, empat sayap dan sebagiannya Allāh tambah sayapnya lebih banyak daripada itu.” (QS Fāthir: 1)

Malāikat Jibrīl sayapnya hingga 600 sayap. 

Ada sebagian orang menggunakan akalnya dia mengatakan malāikat tidak punya sayap, kenapa anda menolak malāikat tidak memiliki sayap?

Karena tidak masuk akal.

√ Malāikat bila memiliki dua sayap bisa kita bayangkan satu di kiri dan satunya lagi di kanan. 

√ Malāikat bila memiliki empat sayap, bisa kita bayangkan dua di kanan dan dua di kiri. 

√ Bila malāikat memiliki tiga sayap binggung membayangkannya. 

Kenapa harus anda bayangkan? Anda tidak bisa pahami tapi jangan anda tolak. Kenapa dia berusaha menolak bila tidak masuk akal dia?

Malāikat memiliki tiga sayap, terserah Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Yang jelas Allāh mengatakan ada malāikat yang sayapnya tiga.

Banyak perkara ghaib yang otak kita tidak boleh masuk di dalamnya, karena kalau kita memaksakan otak kita masuk di dalamnya kita melanggar kaidah otak.

Otak itu tidak boleh masuk kecuali pada perkara-perkara yang bisa ditangkap dengan panca indera. Bila sudah di luar dari panca indera, di luar dari kemampuan kita, bagaimana otak kita masuk dalam hal-hal yang seperti itu.

Apalagi tentang Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kita tidak akan mampu mengenal sifat-sifat Allāh kecuali Allāh yang menjelaskan dalam Al Qur’ān maupun hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Oleh karenanya para ulamā menjelaskan untuk mengetahui hakikat sesuatu, tidak mungkin kita bisa mengetahui hakikat sesuatu kecuali dengan satu dari tiga cara, yaitu:

Kita melihat langsung.  

Kalau kita melihat langsung kita akan langsung tahu.

Misalnya:  Oh, sifat orang ini begini, begini karena saya lihat langsung.

Kita melihat yang semisalnya. 

Kita mungkin tidak melihat langsung tetapi kita melihat yang semisalnya.

Misalnya:  Saya tidak pernah melihat langsung barang itu tetapi saya tahu yang semisalnya, misalnya pernah melihat barang kw-nya, barang kw nya itu mirip dengan aslinya.

Kita mendapat kabar dari sumber yang terpercaya (tsiqah) 

Kita tidak pernah melihat yang semisalnya tetapi ada sumber berita yang tsiqah yang terpercaya menyampaikan.

Misalnya:  Barang itu begini, begini, begini seperti apa? Kamu tidak pernah melihat tetapi sifatnya begini begini, berarti kita bisa mengetahui sifatnya karena ada penggambaran dari sumber yang dapat dipercaya.

Demikian juga, sekarang kita terapkan pada sifat Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Untuk mengetahui sifat Allāh Subhānahu wa Ta’āla dengan cara:

* Melihat langsung, ini mustahil tatkala kita masih hidup tidak mungkin.* 

Dalam hadīts Shahīh Muslim Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

تَعَلَّمُوْا أَنَّهُ لَنْ يَرَى أَحَدٌ مِنْكُمْ رَبَّهُ عَزَ وَ جَلَّ حَتَّى يَمُوْتَ

” Ketahuilah kalian, sesungguhnya tidak akan bisa melihat Rabb kalian kecuali setelah kalian meninggal dunia.” (Hadīts Riwayat Muslim nomor 2930)

Tidak mampu anda melihat wajah Allāh Subhānahu wa Ta’āla, yang memiliki cahaya yang begitu kuat. Sementara mata kita melihat matahari saja tidak kuat.

Oleh karenanya nanti apabila seorang dibangkitkan di akhirat, dimodifikasi oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Penghuni neraka Jahannam (orang-orang yang kāfir sekarang) mereka tidak melihat jinn, malāikat, tetapi nanti kalau mereka sudah dibangkitkan mereka bisa melihat malāikat penjaga neraka Jahannam.

Mereka bisa melihat iblīs, jin yang dimasukan ke dalam neraka bersama mereka bahkan terjadi dialog antara mereka (orang-orang kāfir) dengan iblīs.

Demikian juga penghuni surga, tatkala mereka dibangkitkan mereka diberi kemampuan. diantaranya bisa melihat Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Sekarang kita tidak mampu melihat Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Oleh karenanya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, Nabi termulia yang sudah mencapai pada tempat tertinggi disidratul muntaha, mi’raj bersama malāikat Jibrīl, kemudian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam naik bertemu dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla, sehingga sebagian shahābat menyangka Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam melihat Allāh, mereka bertanya kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ قَالَ  ” نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ

” Wahai Rasūlullāh, apakah anda melihat Rabb anda tatkala miraj?”_

_Kata Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:_ 

” Ada cahaya yang menghalangi (bagaimana saya bisa melihat Allāh Subhānahu wa Ta’āla).”_

(Hadits Riwayat Muslim nomor 178)

Nabi Mūsā ‘alayhissalām pernah ingin melihat Allāh Subhānahu wa Ta’āla, dalam surat Al Arāf disebutkan, Nabi Mūsā berkata:

رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا

” Yaa Rabb, perlihatkanlah dirimu aku ingin melihat Engkau.”_

_Kata Allāh:_ ” Engkau tidak bisa melihat Aku, tetapi lihatlah kepada gunung, kalau engkau kuat engakau akan melihat Aku.”_

_Tatkala cahaya Allāh sampai ke gunung, gunungpun hancur dan akhirnya Nabi Mūsā pun pingsan.”_ (QS Al A’rāf: 143)

Tidak akan mampu, melihat Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Oleh karenanya tatkala bani Isrāil berkata kepada Nabi Mūsā:

يَا مُوسَىٰ لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّىٰ نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ

” Wahai Mūsā, kami tidak akan berimān kepada engkau, sampai kami melihat Allāh terang-terangan,” maka turunkan halilitar (kemudian tewaslah mereka). (QS Al Baqarah: 55)

Mereka tidak mampu melihat Allāh, berarti mereka meminta sesuatu yang mustahil di dunia ini.

Jadi dari sisi pertama kita tidak bisa mengetahui Allāh dan melihat langsung.

* Dengan melihat yang semisalnya.* 

Tidak ada yang sama dengan Allāh.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla  berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

” Tidak ada satupun yang serupa dengan Allāh dan Dia Maha Melihat lagi Maha Mendengar.” (QS Asy Syura: 11)

Sehinggan cara keduapun (dengan melihat yang semisal) tertutup.

* Khabar yang tsiqah.* 

Dari pengkhabaran yang amanah yang terpercaya yaitu dari Al Qur’ān dan Sunnah.

Dan tidak ada yang lebih berhak untuk menyampaikan tentang sifat-sifat Allāh kecuali Allāh sendiri.

Allāh yang menyampaikan sifat-sifat-Nya dalam Al Qur’ān. Kemudian Allāh juga menugaskan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam untuk menyampaikan sifat-sifat Allāh dalam hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Oleh karenanya, jika telah datang khabar tentang sifat-sifat Allāh dari Al Qur’ān maupun Sunnah maka kita tetapkan dan kita imāni. Allāh berkata demikian maka kita percaya, tidak usaha kita timbang-timbang lagi dengan akal kita.

Timbulnya ahlul bid’ah (orang-orang yang menyimpang dalam bab ini) karena mereka berusaha memikirkan sifat-sifat Allāh dengan otak mereka.

Sehingga timbullah kaidah mereka tentang “mendahulukan akal daripada dalīl” yang  disampaikan oleh orang-orang mu’tazilah seperti Qadhi Abdul Jabbar dalam kitābnya Syarah Usul Al Khamsah yang diikuti oleh sebagian orang-orang Asy Syāirah. Yang didahulukan, seperti Rāzi, mempunyai kaidah “qunun al qulli”, bahwanya akal kalau bertentangan dengan ilmu maka akal didahulukan.

Kenapa mereka mengatakan demikian?

Karena mereka beranggapan bahwasanya akal merupakan sumber utama, “Kita tidak bisa percaya dengan Tuhan kecuali karena akal kita. Akal kitalah yang menunjukan Tuhan itu ada.”

Oleh karenanya akal merupakan sumber dalīl yang paling utama bagi mereka yang menjadikan mereka percaya adanya Tuhan.

Kata logika mereka, “Kalau datang dalīl dari Al Qur’ān atau Sunnah yang bertentangan dengan akal maka kita harus mendahulukan akal.”

Kenapa?

Karena menurut mereka akal yang utama, karena akal yang menunjukkan adanya Tuhan.

Kalau ternyata kita mendahulukan dalīl daripada akal berarti kita sudah menjatuhkan akal sejak awal, padahal akal yang menunjukan kita adanya Tuhan.

Karena adanya Tuhan dibangun diatas percaya kepada akal, kata mereka.

Ini adalah logika mereka dan ini disampaikan oleh orang-orang mu’tazilah di dalam buku-buku mereka, namun dibantah oleh para ulamā diantaranya dibantah oleh:

– Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah dalam kitābnya Dar’u Ta’arrudhil ‘Aqli wan Naqli.

-Imām Ibnu Qayyim rahimahullāh dalam kitābnya Ash Shawa’iq Al Mursalah ‘Alal Jahmiyyatil Mu’aththilah, dari puluhan sisi membantah pernyataan demikian ini yang dikenal dengan al qānūn al kully, yaitu kaidah universal yang intinya akal harus didahulukan daripada dalīl.

Kita sebutkan hanya dari beberapa sisi bantahan saja.

Bersambung kebagian 10, In syā Allāh


BimbinganIslam.com
Rabu, 07 Sya’ban 1438 H / 04 Mei 2017 M
Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
Materi Tematik: Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah (Bagian 9 dari 13)