Ikhwāni fīllāh wa akhwāti fīddīn azaniyallāh waiyyakum.
Dari puluhan sisi untuk membantah pernyataan yang dikenal dengan al qānūn al kully atau kaidah universal yang intinya akal harus didahulukan daripada dalīl, kita sebut hanya beberapa sisi bantahan saja.
⑴ Kita buat sebuah analogi yang disebutkan oleh para ulamā (Ibnu Qayyim, Ibnu Abi Izz Al Hanafi rahimahumullāh)
Contohnya:
Saya ingin berobat untuk berhenti merokok tapi saya binggung di mana tempat praktek dokter Kemudian sayapun berjalan akhirnya bertemu (misalnya) tukang becak. Kemudian saya bertanya kepada tukang becak dimanakah dokter yang ahli. Kemudian tukang becak tersebut menunjukan dokter yang ahli. Lalu saya berobat di dokter tersebut.
Setelah saya pergi ke dokter tersebut diperiksalah saya kemudian diberi resep. Setelah saya pulang dari dokter itu saya lewat tukang becak tadi, lalu tukang becak tadi bertanya:
“Apakah resep yang diberikan dokter itu?”
Lalu saya tunjukan resep tersebut. Kemudian tukang becak itu mengatakan bahwa resep ini keliru.
Saat itu siapa yang dibenarkan? Tukang becak atau dokter?
Kalau anda membenarkan dokter itu maka tukang becak akan marah, “Yang menunjukkan dokter itu adalah saya (tukang becak) kenapa kamu tidak percaya dengan saya?”
Kalau kamu tidak percaya dengan tukang becak itu seharusnya kamu jangan percaya dengan dokter itu, karena yang menunjukan dokter itu adalah tukang becak.
⇒Ini logikanya orang-orang Mu’tazilah.
Kalau logika kita, kita balik.
Kamu (tukang becak) sudah tunjukan dokter berarti dokter itu adalah ahli dan saya harus percaya kepada dokter karena itu bidangnya. Kalau saya tidak percaya dokter kemudian saya kembali kepada tukang becak, maka dari awal saya tidak percaya dengan tukang becak.
Kalau sekarang saya bilang, dokter salah! Berarti sejak awal kamu (tukang becak) salah menunjuk.
Kalau kita tidak membenarkan dokter sebenarnya kita tidak membenarkan tukang becak yang menunjukan dia dokter.
Kalau kita sudah membenarkan tukang becak tentang dokter itu, maka apa yang dokter katakan tentang obat maka itu benar.
Kapan kita tidak percaya dokter?
Pada saat kita tidak percaya kepada tukang becak yang sudah menunjukan dia adalah dokter, ini logikanya, logika kita.
Jadi kamu (akal) yang telah menunjukan itu adalah Tuhan dan Tuhan tidak mungkin salah.
Tuhan telah mengutus rasūl dan rasūl tidak mungkin salah (ma’sum) karena dia utusan Tuhan. Maka bila ada dalīl dari Al Qurān maupun Sunnah (perkataan rasūl), maka kita harus membenarkan itu meskipun bertentangan dengan akal kita.
Karena akal kita tidak kuat, tidak semuanya kita paham.
Ketika kita tidak percaya kepada Al Qurān dan Sunnah, berarti asalnya kita sudah menyalahkan akal sejak awal, berarti akal sudah salah menunjukan.
√ Itu bukan Tuhan, mungkin salah.
√ Itu bukan rasūl, mungkin salah.
Namanya rasūl dengan Tuhan tidak boleh salah.
Karena rasūl ma’sum, Tuhan itu tidak mungkin salah. Itu akal menunjukan demikian.
Maka yang benar, bila terjadi pertentangan antara akal dengan Al Qurān dan Sunnah maka yang kita benarkan adalah Al Qurān dan Sunnah, karena Tuhan tidak mungkin keliru.
Inilah bantahan kepada mereka dari sisi pertama. Yaitu justru kalau kita menyalahkan ayat dan sunnah berarti kita tidak percaya dengan akal, karena akal yang menunjukan bahwa itu adalah Tuhan dan Rasūl.
⑵ Kita katakan, misalkan saya setuju dengan anda, bahwasanya akal merupakan sumber untuk kita mengetahui tentang sifat-sifat Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Kalau kita sepakat akal yang menjadi patokan, pertanyaan berikutnya akal siapa yang menjadi patokan?
Sementara kita tahu bahwasanya akal itu bertingkat-tingkat, sehingga tatkala ahlul bida’ yang mereka menjadikan akal sebagai sumber penetapan sifat-sifat Allāh merekapun berselisih.
Ada kelompok jahmiyah, mu’tazilah, kullabiyyah, asysyāirah. Asysyāirah pun terbagi menjadi dua asysyāirah mutaqadimin dan asysyāirah muta’akhirin. Ada kelompok maturidiyyah.
Ini semua berbeda-beda dalam menetapkan sifat, kenapa?
Karena akal mereka berbeda-beda.
⇒Apa yang menurut jahmiyah tidak masuk akal, menurut mu’tazilah masuk akal.
⇒Apa yang menurut mu’tazilah tidak masuk akal, menurut kullabiyyah dan asysyāirah masuk akal.
⇒Apa yang menurut asysyāirah mutaqadimin (yang lama) masuk akal, menurut asysyāirah muta’akhirin tidak masuk akal.
Sehingga mereka berbeda-beda.
Saya ulangi, ada:
⑴ Jahmiyah
⑵ Mu’tazilah
⑶ Kulabiyyah
⑷ Asysyāirah mutaqadimin
⑸ Asysyāirah muta’akhirin
⑹ Maturidiyyah
Ada 6 (enam) kelompok dalam hal ini. Belum lagi ada ahlul kalam (filsafat) yang lain lagi dalam menetapkan sifat-sifat Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Lalu akal mana yang akan kita pakai?
Apakah akal-akal orang ini ataukah akalnya Abū Bakar, akalnya ‘Ummar atau akalnya shahābat atau akalnya Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam? Akal mana yang akan dipakai?
Tatkala kita menjadikan akal sebagai sumber maka akan terjadi banyak perbedaan.
Kata Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah:
ياليت شعري بأي عقل يوزن الكتاب والسنة
“ Sungguh, dengan akal siapa mau ditimbang Al Qurān dan Sunnah.”_
Kata Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah:
_Sungguh semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla meridhāi Al Imām Mālik, tatkala beliau berkata:_
أفكلما جاء رجل أجدل من رجل تركنا ما جاء به جبريل إلى محمد صلى الله عليه وسلم لجدل هؤلاء
” Apakah setiap orang yang pandai berdebat akhirnya kita tinggalkan apa yang diwahyukan Jibrīl kepada Muhammad gara-gara kecerdasan mereka.”
Kalau kita ikut akal orang, aqidah kita akan berubah-ubah. Setiap ada orang yang lebih pintar kita berubah. Maka yang benar bahwasanya untuk mengetahui sifat-sifat Allāh tidak ada cara kecuali dengan meyakini pengkhabaran dari Al Qurān dan Sunnah.
Kenapa?
Karena akal ini, daya berpikir akal dibangun di atas analogi (logika) dan mengqiyaskan. Dan analogi ini dibangun dengan apa yang pernah ditangkap oleh panca indera.
Akal tidak mampu mengkhayal kecuali dibangun di atas analogi.
Saya sering memberi permisalan.
Contohnya:
Ada seorang yang sejak lahir buta, tiba-tiba pada umur 10 tahun sempat matanya bisa melihat namun hanya beberapa detik.
Waktu dia bisa melihat ternyata yang dia lihat hanya ayam jago, setelah melihat ayam jago kemudian dia buta lagi (misalnya ada orang seperti ini).
Maka tidak pernah ada yang ditangkap oleh panca inderanya kecuali ayam jago, daya khayal dia terbatas.
Sehingga bila ada yang bertanya kepada dia (misalnya), “Tahukah anda kambing?”
Maka dia akan mengatakan, “Kambing itu seperti apa bila dibandingkan dengan ayam jago?” Karena dia tidak bisa menghayal kecuali ayam jago.
Kalau ada yang bertanya kepada dia, “Tahukah kamu mobil?”
Maka dia akan mengatakan, “Mobil itu bagaimana bila dibandingkan dengan ayam jago?” Karena dia tidak pernah melihat kecuali ayam jago.
Antum menyuruh dia mengkhayalkan yang lain tidak akan mampu karena yang dia lihat hanya ayam jago, akal dia terbatas.
Saya katakan, daya nalar akal itu sesuai dengan apa yang pernah dia lihat, dia raba, dia dengar, dibangun di atas apa yang pernah ditangkap oleh panca indera kemudian dia menganalogikan di atas apa yang pernah dia lihat.
Lalu, bagaimana anda ingin membayangkan sifat-sifat Allāh?
Anda tidak tahu karena anda tidak pernah melihat apa-apa, hal ini menunjukkan akal sangat terbatas.
Maka tatkala mereka menolak sifat-sifat Allāh, biasanya mereka menganalogikan Allāh dengan makhluk sehingga mereka menolak. Kenapa?
Karena mereka tidak bisa paham kecuali dengan apa yang mereka pernah lihat.
Sebagai contoh, tatkala kita mengatakan Allāh berada di atas ‘Arsy maka sebagian mereka, seperti Rāzi, mulai berdalīl dengan logikanya.
Dengan logika akal apa yang pernah mereka lihat di alam nyata.
Mereka mengatakan bahwasanya kalau Allāh berada di atas ‘Arsy ini dalīl bahwasanya,
1. Melazimkan ‘Arsy lebih besar daripada Allāh karena kita tahu bahwasanya yang di atas lebih kecil daripada yang di bawah.
2. Bahwasanya kalau Allāh berada di atas ‘Arsy berarti Allāh butuh kepada ‘Arsy karena yang di atas butuh kepada yang di bawah.
Dia menganalogikan Allāh dengan apa yang dia lihat padahal menyamakan Allāh dengan sesuatu yang terlihat merupakan suatu pengqiyasan yang sangat bathil.
Kenapa?
Karena kita menyamakan sesuatu yang ghaib dengan sesuatu yang kita lihat.
Anda kalau mau mengqiyaskan maka akan mengqiyaskan sesuatu yang mirip-mirip.
Bagaimana anda mengqiyaskan Allāh dengan makhluk?
Kata dia kalau yang di atas pasti butuh kepada yang di bawah dan yang di atas lebih kecil daripada yang di bawah. Kalau begitu kita tidak percaya bahwa Allāh ada di atas ‘Arsy?
Kita katakan logika anda keliru, di atas alam semesta ini ada yang tidak demikian, contohnya antara langit dengan bumi.
Langit dengan bumi, mana yang di atas? Langit atau bumi?
Tentu langit yang di atas, langit lebih di atas daripada bumi.
Mana yang lebih besar? Langit atau bumi?
Ternyata yang lebih besar adalah langit, yang di atas lebih besar daripada yang di bawah.
Kemudian langit dengan bumi, apakah langit butuh dengan bumi?
Apakah ada tiang yang menyangka langit?
Tidak ada, tidak ada tiang yang menyangga dari bumi ke langit, sehingga langit di atas tidak perlu ada bumi.
Berarti logika anda keliru.
Makanya banyak orang yang menganggap sifat-sifat Allāh tatkala mereka menganalogikan (menyamakan) Allāh dengan makhluk baru kemudian mereka menolak, padahal menganalogikan Allāh dengan makhluk merupakan analogi yang sangat bathil.
Anda ingin menyamakan malāikat dengan manusia, ini salah besar.
Ingin menyamakan jin dengan manusia, salah besar.
Sumber penciptaannya berbeda, manusia dari tanah jin dari api, bagaimana anda menganalogikan jinn dengan manusia?
Tidak akan sama.
Apalagi dengan yang sangat ghaib yaitu Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Jadi maksud saya, kaidah yang pertama dalam masalah sifat-sifat Allāh, maka ‘aqidah ahlulsunnah meyakini sifat-sifat Allāh adalah taufiqiyyah, kita tidak bisa memahami kecuali lewat jalur Al Qurān dan Sunnah.
Adapun hanya melalui akal ini merupakan kekeliruan.
Bersambung kebagian 11, In syā Allāh
~~~~~~~~~~~~~~~~
BimbinganIslam.com
Jum’at, 08 Sya’ban 1438 H / 05 Mei 2017 M
Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
Materi Tematik: Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah (Bagian 10 dari 13)