◆ Mengapa Allāh dikatakan lebih dekat dengan urat nadi kita?
Tidak ada perkataan demikian, yang ada:
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ* إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ
” Dan kami lebih dekat kepada dia daripada urat nadinya, tatkala dua malāikat berada di tangan kanan dan kiri.” (QS Qāf: 16-17)
⇒Jadi kata para ulamā *nahnu* (kami) disitu adalah malāikat dan bukan Allāh.
Karena sering Allāh menggunakan kalimat nahnu tapi maksudnya adalah malāikat.
Contohnya: Allāh berkata:.
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
” Kalau kami bacakan maka ikutilah bacaannya.” (QS Al Qiyāmah: 18)
⇒Maksudnya “kami” disini adalah Jibrīl ‘alayhissalām.
Waktu malāikat Jibrīl metalqin Nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Yang membaca Allāh atau malāikat Jibrīl?
Yang membaca adalah malāikat Jibrīl, dan Allāh menggunakan “kami” karena malāikat adalah petugas dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla (tentara-tentara Allāh Subhānahu wa Ta’āla).
⇒Jadi maksudnya bukan Allāh lebih dekat dengan urat nadi, ini salah paham tentang ayat tersebut.
Kalaupun kita pahami Allāh lebih dekat maksudnya adalah ilmu Allāh bukan Dzat-Nya.
Contohnya: Allāh buka dengan sifat ilmu dan Allāh tutup dengan sifat ilmu.
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۖ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَىٰ ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَىٰ مِنْ ذَٰلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ۖ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
” Tidakkah engkau lihat, Allāh mengetahui/mengilmui apa yang ada di langit dan di bumi. Tidak ada tiga orang saling berbisik kecuali Allāh yang keempat, tidak ada lima orang saling berbisik kecuali Allāh yang keenam, tidak ada yang sedikit atau banyak kecuali Allāh bersama mereka. Kemudian Allāh akan mengabarkan kepada mereka tentang apa yang mereka lakukan pada hari kiamat kelak. Sesungguhnya Allāh Maha Mengetahui Segala Sesuatu.” (QS Al Mujādilah: 7)
–> “Bersama mereka”, maksudnya ilmu Allāh bersama mereka, bukan Dzat
–> Allāh
Jadi orang salah paham tatkala mengatakan:
هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا
Allāh bersama mereka dimanapun mereka berada.
Sebagian orang paham bahwa Allāh berada dimana-mana.
Ini salah!
Padahal yang dimaksud adalah ilmunya Allāh, sehingga Allāh buka ayat ini dengan sifat ilmu:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ
” Tidakkah engkau mengetahui bahwa Allāh mengetahui.”
Di akhir ayat kata Allāh:
إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Sesungguhnya Allāh mengetah segala sesuatu.
⇒Jadi maksudnya, yang di mana-mana adalah sifat Ilmu Allāh.
Contohnya:
Tatkala Allāh mengatakan kepada Mūsā dan Hārun.
اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ * فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ * قَالَا رَبَّنَا إِنَّنَا نَخَافُ أَنْ يَفْرُطَ عَلَيْنَا أَوْ أَنْ يَطْغَىٰ* قَالَ لَا تَخَافَا ۖ إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَىٰ
(Kata Allāh kepada Mūsā dan Hārun) “Pergilah kalian berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka bicaralah kepadanya dengan lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (sadar).”
Kemudian kata Mūsā dan Hārun:
” Yā Rabb kami, sesungguhnya kami takut, bahwa ia akan menzhalimi kami atau akan bertambah melampaui batas.”
Kata Allāh:
“Janganlah kalian berdua takut Sesungguhnya Saya bersama kalian, Saya mendengar dan Saya melihat.” (QS Thahā: 43-46)
⇒Bukan kata Allāh, “Saya dengan kalian dan saya lihat apa yang kalian lakukan.”
Jadi, “Jangan khawatir.”
Bukan berarti Allāh berjalan bersama Nabi Mūsā dan Hārun menuju Firaun. Tidak!
Tetapi Allāh Maha Melihat dan Allāh Maha Mendengar (maksudnya Allāh mengawasi).
Jadi yang sering bersama-sama di mana-mana bukan Dzat Allāh tetapi Ilmu Allāh.
Karena kalau kita katakan Allāh di mana-mana tidak masuk akal.
Misalnya Allāh ada di perut hewan, Allāh di kamar mandi, ada Allāh di dalam masjid.
Padahal, kaum muslimin secara umum (manusia secara umum) mereka tahu Tuhan di atas.
Makanya kalau ada apa-apa mereka mengatakan:
“Kita serahkan pada yang di atas.”
Tetapi kalau ditanya Allāh dimana, jawabannya Allāh di mana-mana.
Jadi maksudnya ” lebih dekat dengan urat nadi” itu bukan Allāh Subhānahu wa Ta’āla melainkan malāikat, nahnu (kami) disini maksudnya malaikat dan benar malāikat lebih dekat dengan urat nadi dan kita tidak melihat.
◆ Bagaimana cara berdo’a dengan nama-nama Allāh?
Berdo’a dengan nama-nama Allāh, kata Allāh:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ
” Allāh memiliki nama-nama yang indah maka berdo’alah dengan-Nya.”
(QS Al A’rāf: 180)
⇒Maksudnya, kita berdo’a dengan menyebutkan yang sesuai dengan keinginan (hajat) kita.
Misalnya:
√ Kita ingin meminta rejeki, kita bilang:
“Yā Razaq, urzuqni.”
_Wahai pemberi rejeki, berilah rejeki kepadaku._
√ Kita mengatakan:
“Yā Ghafar (Wahai Yang Maha Pengampun), ampunilah aku.”
√ Kita mengatakan:
“Yā Qawīy (Wahai Yang Maha Kuat), tolonglah aku, hancurkanlah musuh-musuhku.”
⇒Jadi kita meminta sesuai dengan nama-nama Allāh.
Maka tidak nyambung tatkala kita mengatakan:
“Yā Qawīy (Wahai Yang Maha Kuat, Maha Perkasa), ampunilah aku.”
Atau:
“Yā Razaq (Yang Maha Pemberi Rejeki), ampunilah aku.”
Tidak nyambung.
Akan tetapi kalau kita mengatakan:
” Yā Allāh Yang Maha Pengampun, ampunilah aku.”
Maka ini nyambung.
Bukan kita mengatakan, “Yā Latief” sampai 1000 kali, ini tidak benar. Tidak ada contoh dari Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Kita menyebut sebagai pengagungan tetapi tidak perlu sampai 1000 kali tetapi kita renungkan makna-maknanya.
◆ Apakah kegagalan dan kesuksesan manusia di dunia merupakan kehendak Allāh walaupun manusia telah menggunakan akalnya dengan maksimal?
⇒Seluruh yang terjadi di alam semesta ini adalah kehendak Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Namun kita tidak tahu bagaimana nanti yang Allāh kehendaki.
Maksiat yang terjadi kerusakan yang terjadi semua tidak ada yang keluar dari kehendak Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Adanya Iblīs dan syaithān pun menjadi kehendak Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Tapi tidak boleh seorang berdalīl mengatakan:
“Untuk apa saya berbuat baik bila saya ditakdirkan masuk neraka Jahannam?”
Saya bilang, tidak boleh anda mengatakan demikian, karena anda tidak tahu.
Kalau anda pernah naik ke Lauhil Mahfūzh, anda pernah tengok anda di neraka Jahannam maka tidak apa-apa anda berbuat maksiat sekarang ini.
Tetapi anda tidak tahu, nanti anda di neraka atau tidak.
Maka, untuk apa anda memvonis diri anda di neraka?
Anda berjalan saja, anda berusaha.
Yang jelas, Allāh memberi kita pilihan.
Kita boleh memilih atau tidak? Boleh.
Anda mau makan atau tidak? Anda bisa memilih.
Makanan apa yang anda sukai, anda bisa memilih.
Kalau anda terpaksa, maka tidak ada hukumnya.
Ada orang terpaksa diseret, digeret disuruh maka sesuatu misalnya, atau dipaksa untuk berzina atau untuk membuka auratnya, ini di luar kemampuan dia.
Dia tidak akan mendapat apa-apa, dia tidak akan berdosa.
Akan tetapi banyak perkara yang kita bisa memilih.
√ Mendengar ādzān Subuh mau tidur lagi atau bangun shalāt terserah kita.
√ Mau shalāt di masjid atau tidak, itu terserah kita.
√ Mau mencari kerja atau tidak, itu terserah kita.
Kita bisa memilih.
Jangan kita mengatakan, “Kalau Allāh sudah taqdirkan, kita tidak perlu berusaha.”
Tidak boleh kita katakan seperti ini!
Sekarang kalau anda mau makan, anda pergi ke warung atau tidak? Tentu anda harus kewarung. Coba kalau anda duduk saja tidak usah pergi ke warung, kan tidak mungkin.
Seseorang tidak tahu taqdir dia seperti apa nanti dan tidak ada yang tahu.
Oleh karenanya kita menjalankan apa yang yang ada dihadapan kita. Masalah taqdir kita serahkan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Kurang lebihnya saya mohon maaf.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
BimbinganIslam.com
Sabtu, 14 Syawwal 1438 H / 08 juli 2017 M
Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
Materi Tematik: Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah (Bagian 13 dari 13)