السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه

Para shahābat BiAS yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla, kita akan melanjutkan pembahasan kita dari buku Al Arba’in An Nawawiyyah.

Telah kita sampaikan pengajian  syarah dari hadīts Jibrīl.

Tatkala Jibrīl datang kepada Nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan bertanya tentang perkara-perkara agama.

Di antaranya Jibrīl bertanya tentang masalah imān, di mana Jibrīl mengatakan:

يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ

” Wahai Muhammad, kabarkanlah aku tentang keimānan.”

Kemudian Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyebutkan rukun imān:

اْلإِيْمَانِ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَر

Imān adalah engkau;

Berimān kepada Allāh,_
Berimān kepada para malāikat,_
Berimān kepada kitāb-kitāb Allāh,_
Berimān kepada para rasūl,_
Berimān kepada hari kiamat, dan_
Berimān kepada taqdir (taqdir yang baik maupun taqdir yang buruk).

Oleh karenanya pada kesempatan ini kita akan memulai membahas tentang rukun imān (satu persatu), enam rukun imān akan kita bahas.

Dan pada pertemuan yang pertama ini kita akan membahas sebagian daripada rukun: الإيـمـان بـالله karena rukun imān yang pertama adalah “al Imānu billāh” (berimān kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla).

Ini adalah rukun yang paling pokok (yang paling azas), berimān kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. 

Berimān kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, adalah: 

Berimān tentang adanya wujud Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Akan tetapi berimān dengan adanya wujud Allāh Subhānahu wa Ta’āla tidak cukup untuk menjadikan seorang itu muslim atau menjadikan seorang itu mukmin.

Karena kita tahu, banyak orang-orang kāfir, kaum musyrikin yang mereka berimān akan adanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

√ Orang-orang Yahūdi, mereka berimān kepada Allāh.

√ Orang-orang Nashrāni mereka berimān kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Mereka tahu Allāh itu ada. Makanya saya katakan kalau berimān kepada Allāh tidak cukup hanya mengetahui Allāh itu ada, tetapi ada hal-hal lain yang harus ditambah dalam berimān kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kalau berimān hanya berimān mengakui adanya Allāh, maka iblīs pun mengakui adanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kemudian Fir’aun juga mengakui adanya Allāh, kemudian orang-orang Yahūdi, orang-orang Nashrāni, tapi mereka semuanya dihukumi sebagai orang-orang kāfir di sisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Oleh karenanya tidak cukup hanya dengan berimān adanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Ada perkara-perkara yang lain yang harus kita imāni berkaitan dengan Allāh, (yaitu)  berimān bahwasannya Allāh Maha Esa,

وَإِلَـٰهُكُمْ إِلَـٰهٌۭ وَٰحِدٌۭ

” Dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang Satu (Maha Esa).” (QS Al Baqarah: 163)

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

” Katakanlah bahwasannya Allāh Maha Esa.” (QS Al Ikhlās: 1)

√ Maha Esa dalam rubūbiyah-Nya (الربوبية) √ Maha Esa dalam ulūhiyah-Nya (الألوهية) dan √ Maha Esa dalam asmā wa shifāt-Nya (الأسماء والصفات) .

Dan inilah yang akan kita bahas, tentang ke-Esa-an Allāh Subhānahu wa Ta’āla dalam rubūbiyah-Nya, dalam ulūhiyah-Nya dan dalam asmā wa shifāt-Nya.

Dan ini adalah metode para ulamā tatkala menjelaskan tentang keimānan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Para ulamā membuat pengajaran, untuk mempermudah pengajaran maka mereka membagi ke-Esa-an Allāh menjadi tiga.

Ke-Esa-an Allāh dalam rubūbiyah-Nya,
Ke-Esa-an Allāh dalam ulūhiyah-Nya,
Ke-Esa-an Allāh dalam asmā dan shifāt-Nya. 

Dan akan kita jelaskan masing-masing dari maksud ini.

Dan pembagian ini adalah sekedar metode untuk memudahkan pengajaran. Memang tidak pernah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyatakan, “Ketahuilah para shahābatku, bahwasannya Ke-Esa-an Allāh terbagi menjadi tiga,” tidak pernah.

Ini hanya sekedar metode pengajaran, tatkala para ulamā memperhatikan hadīts-hadīts dan memperhatikan ayat-ayat Allāh maka mereka berkesimpulan bahwasannya pembahasan tentang Ke-Esa-an Allāh, kembali kepada tiga pembahasan ini.

Ke-Esa-an dalam penciptaan,
Ke-Esa-an Allāh dalam penyembahan (tidak boleh disembah kecuali Allāh), dan
Ke-Esa-an Allāh dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya (tidak boleh ada yang menyamai Allāh).

Ini hanya sekedar untuk memudahkan pengajaran.

Sebagaimana tatkala para ulamā mengatakan hukum fiqih ada lima, ada namanya harām, wajib, mubah, makruh dan sunnah.

Padahal Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak pernah menyatakan, Ketahuilah para shahābatku, bahwasannya hukum fiqih ada lima.”

Tetapi para ulamā setelah meneliti hadīts-hadīts nabi, meneliti ayat-ayat Allāh, meneliti hukum-hukum yang berkaitan dengan hukum fiqih, maka mereka mengambil kesimpulan bahwasanya hukum fiqih ada lima.

Oleh karenanya pembagian ini hanya sekedar metode.

Kita dapati sebagian ulamā membagi tauhīd menjadi dua. Ada yang membagi,

Tauhīd ilmi wa ma’rifah dan
Tauhīd thalaq. 

Namun maksudnya sama, (maksudnya)  bahwasanya;

Allāh harus Maha Esa, dalam penciptaan (tidak ada yang boleh menyertai Allāh dalam penciptaan)
Allāh harus Maha Esa, dalam peribadatan tidak boleh ada dzat lain yang disembah kecuali Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Allāh Maha Esa dalam asmā dan shifāt-Nya, tidak ada yang sifatnya seperti sifat-sifat Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Ada juga yang membagi menjadi empat, oleh karenanya pembagian tidak jadi masalah, angka-angka tidak jadi masalah. Yang penting maksud dari tujuannya.

Oleh karenanya kita dapati, ada sebagian yang membagi tauhīd menjadi pembagian yang lain.

Seperti pembagian tauhīd mengatakan;

Tauhīd al ‘ammah, tauhīdnya orang-orang umum. 
Tauhīdul khashshā , tauhīdnya orang-orang khusus. 
Tauhīd khashatil khasha, tauhīdnya orang-orang super khusus. 

Ini juga membagi menjadi tiga. Kita katakan pembagian tidak jadi masalah. Jangan, seperti ada orang yang bahlul, kemudian mengatakan, “Jangan tauhīd dibagi menjadi tiga, sama seperti trinitasnya orang-orang Nashrāni, ” İni tidak nyambung.

Apakah semua yang angkanya tiga kemudian kita katakan trinitas?

Tidak demikian. Ini sekedar metode dalam memudahkan kita belajar.

Sebagaimana tatkala orang-orang mempelajari bahasa Arab, dikatakan bahwasannya kalimat terbagi menjadi tiga. Ada namanya Huruf, ada namanya Isim (kata benda) dan ada namanya Fiil (kata kerja).

Apakah kemudian tatkala menjadi tiga kemudian sama dengan trinitas? Ini tidak benar.

Oleh karenanya yang akan saya sampaikan ini hanya sekedar metode untuk memahami.

Pembagian menjadi tiga ini ternyata kita dapati dari perkataan ulamā salaf dahulu. Kita bisa mengambil kesimpulan dari perkataan Abū Hanīfah, Abū Yūsuf, Ibnu Bathah, dan ulamā yang lainnya yang menjelaskan bahwasannya tauhīd, pembahasan tentang Allāh, Ke-Esa-an Allāh berporos pada tiga perkara.

Ke-Esa-an Allāh dalam rubūbiyah -Nya, 
Ke-Esa-an Allāh dalam ulūhiyah-Nya, dan 
Ke-Esa-an Allāh dalam asmā dan shifāt-Nya.

Wallāhu A’lam bishawāb.

Sampai sini saja apa yang bisa saya sampaikan.

وبالله التوفيق و الهداية

والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 


BimbinganIslam.com
Senin, 16 Rabi’ul Awwal 1439 H / 04 Desember 2017 M
Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.
Hadits Arba’in Nawawī
Hadits Kedua | Penjelasan Rukun Iman Kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla (Bagian 01 dari 06)


Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk amal yang dicintai dan diridhai-Nya. Shalawat dan salam semoga juga dilimpahkan Allah kepada  Nabi kita Muhammad Shallallahu  Álaihi  Wasallam, segenap keluarga dan para sahabatnya.

MEDIA DAKWAH: Buletin Euromoslim Terbit Setiap Jum’at  

Euromoslim Amsterdam
Indonesisch-Nederlandsche Moslim Gemeenschap–Amsterdam
Organisasi Keluarga Muslim Indonesia-Belanda di Amsterdam
Ekingenstraat 3-7, Amsterdam
Amsterdam,  22 december 2017 / 04 rabi’ul akhir 1439
Saran, komentar dan sanggahan atas artikel diatas kirim ke:
E-mail: Euromoslim-Amsterdam: media@euromoslim.org