السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه
Sahabat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Diantara syirik kecil sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah adalah ujub. Yaitu seorang merasa berhasil karena dia merasa memiliki peran.
Ketika seorang merasa memiliki peran dalam meraih keberhasilannya maka dia terjerumus ke dalam ujub.
Oleh karenanya seseorang yang ingat firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
” Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
Maka kita sadar bahwasanya semua keberhasilan yang kita rasakan semuanya murni karena pertolongan dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Apa yang mau kita andalkan, kita akan andalkan kecerdasan kita?
Yang memberikan kecerdasan adalah Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Kita andalkan pengalaman kita?
Yang memberikan juga Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Dan jangan merasa bahwa kecerdasanlah yang membuat kita berhasil.
Saya sering sampaikan bahwasanya kecerdasan tidak berbanding lurus dengan kekayaan. Pengalaman juga tidak berbanding lurus dengan kekayaan.
√ Betapa banyak orang yang pengalamannya banyak tetapi tetap miskin.
√ Betapa banyak orang yang IQnya tinggi, sekolahnya tinggi tetap tidak kaya-kaya.
√ Betapa banyak orang yang tidak lulus SD, jualan tiba-tiba kaya raya.
Oleh karenanya kekayaan tidak berbanding lurus dengan kecerdasan dan tidak berbanding lurus dengan pengalaman.
Kalau seseorang berhasil jangan katakan, “Karena kecerdasan saya,” atau, “Karena pengalaman saya.”
Tapi katakanlah, “Semuanya dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla,” sehingga dia selamat dari penyakit ujub.
Terakhir, saya tutup dengan beberapa bentuk riyā’ yang terselubung, karena sebagian orang terkadang terjerumus kepada riyā’ secara tidak langsung.
Bentuk-bentuk riyā’ terselubung tersebut banyak, disebutkan oleh para ulamā di antara seperti yang disebutkan oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah adalah riyā’ dengan berghibah.
Dia menghibah orang lain dengan mengatakan, “Si Fulān tidak pernah bershadaqah,” (maksudnya) saya suka bershadaqah. Ini halus sekali.
“Si Fulān tidak pernah shalāt malam. Saya pernah safar bersamanya, seminggu dia tidak pernah shalāt malam,” (maksudnya) dia shalāt malam. Hanya kalau dia mengatakan, “Saya shalāt malam,” dia malu nanti dibilang riyā’ sehingga syaithān membuat dia riyā’ dari sisi lain. Intinya dia riyā’.
“Si Fulān waktu di pondok tidak pernah belajar,” dalam hatinya dia mengatakan, “Saya belajar terus,” dan ini sudah dipahami dalam pembicaraan. Ini berbahaya, dia riyā’ sambil mengorbankan orang lain. Terjerumus ke dalam ghibah dan mengorbankan orang lain supaya dipuji, ini di antara riyā’ terselubung.
Di antara riyā’ terselubung adalah menyanjung-nyanjung gurunya secara berlebihan, (misalnya) “Guru saya adalah orang yang shālih, orang yang Māsyā Allāh,” maksudnya, “Saya muridnya.”
Ini juga cara yang halus dan ini juga dilakukan oleh sebagian orang.
Disanjung gurunya setinggi-tingginya dan mengatakan, “Saya muridnya,” sedikit-sedikit mengatakan, “Saya muridnya.” Maksudnya, agar ketukaran ketenaran gurunya, ini juga riyā’ yang terselubung.
Seakan-akan karena gurunya ikhlās dia juga ikhlās, seakan-akan jika gurunya rajin ibadah dia juga rajin ibadah, padahal belum tentu.
Di antara riyā’ terselubung seperti seorang yang menyebutkan kenikmatan-kenikmatan yang dia rasakan dan ini sebenarnya dianjurkan untuk menyebutkannya.
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
” Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.”
(QS Ad Dhuha: 11)
Akan tetapi dilarang apa dengan tujuan riyā’. Seakan-akan dia adalah wali, dia mengatakan, “Subhānallāh, Allāh mudahkan saya segala urusan.”
Jadi bukan murni karena bersyukur kepada Allāh tetapi, “Karena saya ini orang yang shālih.”
Dibalik perkataannya ada udang dibalik batu.
Seandainya dia mengucapkan, “Allāh memudahkan semua urusan saya,” benar-benar dia bersyukur kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla maka ini bagus, tetapi bila dibalik ucapannya itu dia ingin menyatakan, “Karena saya orang yang ikhlās, saya orang yang rajin bershadaqah, saya orang yang rajin shalāt, maka saya dimudahkan terus oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla,” kalau ada niat seperti ini maka ini riyā’. Dia ingin memunculkan bahwa dia seorang yang shālih.
Bahkan disebutkan oleh sebagian ulamā ada yang mengatakan, “Gara-gara dia mencela saya maka dia celaka,” jangan sampai dia merasa hebat.
Kata sebagian ulamā, dia menyebutkan perkara ini, dia mengatakan, “Betapa banyak orang yang mencela Nabi kemudian selamat, betapa banyak orang yang mencela Nabi kemudian namun masuk Islām.”
Terus kamu siapa?
Kamu dicela kemudian kamu mengatakan gara-gara dia mencela saya kemudian dia celaka, seakan-akan kamu merasa kamu seorang wali.
“Maka jangan pernah mencela saya,” berarti, “Apabila kamu mencela saya maka kamu celaka,” ini riyā’ terselubung mengaku-ngaku sebagai wali.
Yang menyebutkan perkara ini adalah Al Munawi rahimahullāh.
Syaithān terlalu banyak mendatangkan pintu-pintu riyā’ dan tidak ada jalan lain untuk kita selamat kecuali berdo’a.
Jangan pernah mengandalkan keimānan antum yang seadanya, kemudian antum merasa terlepas dari riyā’ tidak ada jalan keluar kecuali berdo’a kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla .
Oleh karenanya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan kepada para shahābat:
الشرك في هذه الأمة أخفى من دبيب النملة السوداء على صفاة سوداء في ظلمة الليل“
” Sesungguhnya kesyirikan di dalam umatku ini seperti rayapan semut hitam di atas batu hitam dalam kegelapan malam.”_
Siapa yang bisa melihat?
Semut merah saja di malam hari kita tidak bisa melihat apalagi semut hitam di batu hitam di malam hari.
Maka mereka mengatakan, “Bagaimana kita bisa selamat wahai Rasūlullāh? l”
Maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengajarkan do’a:
اللَّهُمَّ إِنِّا نعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا نعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لما لا نعلم
” Yā Allāh, aku berlindung kepada engkau syirik yang kami sadari dan aku mohon ampun dari syirik yang tidak kami sadari.”
Do’a ini harus sering kita ucapkan, karena kita sering terjerumus kedalam riyā’.
Ikhwān hari ini kita ikhlās, dua jam kemudian kita riyā’. Jangankan dua jam, lima menit berikutnya kita sudah pamer amalan kita.
Seringlah kita ingat do’a ini.
Oleh karenanya seorang hamba senantiasa berjuang untuk ikhlās kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, sampai kapan?
Sampai dia meninggal dunia dan dia tidak pernah berhenti dari perjuangan untuk meraih keikhlāsan dan terus berusaha untuk ikhlās dan terus meningkatkan kecintaan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Demikian saja kajian kita pada kesempatan kali ini, besok in syā Allāh kita lanjutkan lagi dengan idzin Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
BimbinganIslam.com
Kamis, 29 Jumadal Ūla 1439 H /16 Februari 2018 M
Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.
Hadits Arba’in Nawawī
Hadits Kedua | Penjelasan Penyimpangan Dalam Tauhid Uluhiyyah Syirik Kecil (Bagian 11 dari 12)
Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk amal yang dicintai dan diridhai-Nya. Shalawat dan salam semoga juga dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu Álaihi Wasallam, segenap keluarga dan para sahabatnya.
MEDIA DAKWAH: Buletin Euromoslim Terbit Setiap Jum’at
Euromoslim Amsterdam
Indonesisch-Nederlandsche Moslim Gemeenschap–Amsterdam
Organisasi Keluarga Muslim Indonesia-Belanda di Amsterdam
EKINGENSTRAAT 3-7, AMSTERDAM-OSDORP
Amsterdam, 11 mei 2018 / 25 sha’baan 1439
Saran, komentar dan sanggahan atas artikel diatas kirim ke:
E-mail: Euromoslim-Amsterdam: media@euromoslim.org