Berpegang teguh dengan al-Kitāb dan as-Sunnah
Berpegang teguhnya Ahlus Sunnah kepada Kitābullāh dan sunnah Nabi-Nya ﷺ , keimanan mereka terhadap semua yang ada di dalam Kitābullah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ dan keyakinan mereka secara totalitas bahwa tidak boleh meninggalkan apapun yang ada di dalam al-Kitab dan as-Sunnah.

Bahkan wajib bagi setiap muslim untuk mengimani dan membenarkan segala yang ada dalam Kitābullāh dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ , sehingga mereka mengimani seluruh nash (teks) yang mencakup informasi-informasi tentang Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, nabi-nabi-Nya, hari akhir, al-Qadar, dan yang semisal dengannya.

Mereka wajib mengimaninya secara ijmāl (global)
dan tafshīl (terperinci), yaitu mengimani secara global
tentang segala hal yang diberitakan oleh Allah tabāraka wa ta’ālā berupa perkara-perkara keimanan, dan mengimani secara terperinci setiap apa yang Ia sampaikan kepada mereka berupa ilmu-Nya di dalam Kitabullāh dan Sunnah Nabi-Nya.

(إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا)

“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu.” (QS. al-Hujurāt: 15)

Beginilah keadaan mereka terhadap semua nash-
nash (teks) al-Kitāb dan as-Sunnah, yaitu menerima dan mengimani keseluruhannya.
Keadaan mereka ini sebagaimana yang diucapkan oleh sebagian ulama salaf,

من اللّه الرسالة، وعلى الرسول البلاغ، وعلينا التسليم

“ Dari Allah-lah risalah berasal, kewajiban Rasul menyampaikannya, dan kewajiban kita adalah menerimanya.”

Siapa saja yang berpegang teguh dengan Kitābullāh dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ , bergantung dan bersandar pada keduanya, niscaya dia akan senantiasa mantap, selamat dan istiqamah serta jauh dari penyelewengan, dengan izin Allah tabāraka wa ta’ālā.

Syaikhul Islām Ibnu Taimiyah rahimahullāh berkata,

جماع الفرقان بين الحق والباطل، والهدى والضلال، والرشاد والغي، وطريق السعادة والنجاة وطريق الشقاوة والهلاك؛ أن يجعل ما بعث الله به رسله وأنزل به كتبه هو الحق الذي يجب إتباعه،
وبه يحصل الفرقان والهدى والعلم والإيمان، فيصدق بأنه حق وصدق، وما سواه من كلام سائر الناس يعرض عليه، فإن وافقه فهو حق، وإن خالفه فهو باطل، وإن لم يعلم هل هو وافقه أو خالفه؛ لكون ذلك الكلام مجملًا لا يعرف مراد صاحبه، أو قد عرف مراده، ولكن لم يعرف هل جاء الرسول بتصديقه أو تكذيبه، فإنه يمسك فلا يتكلم إلا بعلم، والعلم ما قام عليه دليل، والنافع منه ما جاء به الرسول

“ Al-Furqān (pembeda) yang terhimpun (untuk membedakan) antara kebenaran dengan kebatilan, petunjuk dan kesesatan, bimbingan lurus dan penyelewengan, jalan kebahagiaan dan kesuksesan dengan jalan kesengsaraan dan kebinasaan, adalah untuk menjadikan risalah yang dengan itulah Allah mengutus Nabi-Nya, dan kitab-kitab yang Ia turunkan, adalah sebagai kebenaran yang wajib diikuti.
Dengannya akan diperoleh al-Furqān, petunjuk, ilmu, dan keimanan, sehingga dapat dibenarkan bahwa wahyu-Nya adalah haq dan benar (lurus) sedangkan selainnya baik itu perkataan semua manusia perlu ditimbang. Apabila selaras dengan wahyu Allah maka ia adalah kebenaran, dan apabila menyelisihi maka ia adalah kebatilan.
Apabila tidak diketahui apakah ucapan tersebut sesuai atau menyelisihi wahyu, bisa jadi karena ucapan tersebut adalah ucapan yang global sehingga tidak diketahui maksud orang yang mengucapkannya, atau diketahui maksud ucapannya namun tidak diketahui apakah Rasulullah membenarkan atau mendustakannya, maka ucapan tersebut ditahan (didiamkan) dan tidaklah dikomentari melainkan dengan ilmu. Ilmu adalah yang berdasarkan dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah yang datang dari Rasulullah ﷺ.”
[ _Majmū’ Fatāwā_, karya Ibnu Taymiyah 13/135-136 ].

Inilah ringkasan manhajnya Ahlus Sunnah wal Jamā’ah _rahimahumullāh_ di dalam bab yang agung ini. Mereka meletakkan kepercayaan terhadap al-Kitāb dan as-Sunnah, yang dengan kepercayaan inilah mereka memperoleh keselamatan dan kemantapan, sebagaimana ucapan Syaikhul Islām Ibnu Taymiyah pada tempat yang lain, bahkan cukup sering beliau mengatakan,

من فارقَ الدليل ضل السبيل، ولا دليل إلا ما جاء به الرسول

“ Barangsiapa menyelisihi dalil maka jalannya akan sesat, dan tidak ada dalil melainkan apa yang didatangkan oleh Rasūlullāh ﷺ .”
(Lihat: Miftāh Dāris Sa’ādah karya Ibnul Qayyim hlm. 90).

Ibnu Abīl ‘Izz berkata di dalam Syarh (penjelasan) beliau terhadap al-Aqīdah ath-Thahāwīyah,

كيف يُـرام الوصـول إلى علـم الأصـول
بغيـر مـا جـاء بـه الرسـول

“ Bagaimana mungkin menghendaki untuk memperoleh ilmu ushul (ilmu dasar ~ aqidah), selain dengan apa yang didatangkan oleh Rasūlullāh ﷺ .”
[ Syarh al-‘Aqīdah ath-Thahāwīyah hlm. 18 ]

Artinya, hal ini tidak mungkin dan mustahil.
Jadi, kepercayaan mereka rahimahumullāh tehadap
segala apa yang ada di dalam Kitābullāh dan sunnah
nabi-Nya ‘alaihish-shalātu was-salām, dan sikap penyandaran mereka kepada apa yang datang dari keduanya, merupakan penyebab utama mantapnya aqidah mereka.

Tidaklah mungkin seorang dari Ahlus Sunnah wal Jamā’ah rahimahumullāh mengada-adakan suatu aqidah dari dirinya sendiri, atau membawa suatu keyakinan atau agama yang berasal dari akal, perasaan, atau pemikirannya sendiri. Siapa saja yang melakukan hal seperti ini maka mereka adalah ahlul ahwā’ (pengikut hawa nafsu), yang dengan sebab itulah mereka tidak memperoleh kemantapan (dalam aqidah), dan mayoritas keadaan mereka dalam keadaan berubah-ubah dan labil, sebagaimana akan datang penjelasan tentang ini.

Adapun Ahlus Sunnah, tidak ada seorangpun dari mereka yang membuat-buat suatu aqidah dari diri mereka sendiri, namun mereka semua menaruh kepercayaan dan bersandar kepada Kitābullāh dan sunnah Nabi-Nya ﷺ.

Di sini saya akan menukilkan perkataan yang anggun dari Syaikhul Islām Ibnu Taymiyah rahimahullāh, beliau berkata,

ليس الاعتقـاد لي، ولا لمن هو أكبـر مني^، بل الاعتقـاد يؤخـذ عن اللّٰه سبحانه وتعالى ورسوله، وما أجمع عليه سلف الأمة، يؤخـذ من كتاب اللّٰه، ومن أحاديـث البخـاري ومسلم وغيـرهما، من الأحاديـث المعـروفة، وما ثبـت عن سلـف الأمـة.
^) أي : ليس شأني أن آتي باعتقاد من نفسي أنشئه و أخترعه، ولا أيضًا من هو أكبر مني كالإمام أحمد والشافعي ومالك وغيرهم من أئمة الدين، لم يكن أحد منهم ينشئ اعتقادًا من قِبَل نفسه.

“ Aqidah tidaklah berasal dari diriku, dan tidak pula dari mereka yang lebih senior daripadaku^, namun aqidah itu diambil dari Allah subhanahu wa ta’ala, Rasul-Nya ﷺ dan Ijma’ (konsensus) salaf, diambil dari Kitābullāh, dari hadits-hadits Bukhari, Muslim dan selainnya, berupa hadits-hadits yang sudah dikenal, juga bersumber dari yang telah ditetapkan Salaful Ummah.” [ Majmū’ Fatāwā III/203 ].

^) Yaitu: Bukanlah wewenangku untuk membawa suatu aqidah yang berasal dari diriku sendiri yang aku buat-buat dan ada-adakan, bukan pula wewenang orang yang lebih senior dariku seperti Imam Ahmad, asy-Syāfi’i, Mālik, dan selainnya dari para Imam Islam. Tidak ada seorangpun dari mereka yang membuat-buat aqidah yang berasal dari diri mereka sendiri. [Selesai].

Beliau rahimahullāh juga berkata,

اعتقاد الشافعي رضي الله عنه واعتقاد سلف الإسلام، كمالك والثوري والأوزاعي وابن المبارك وأحمد بن حنبل وإسحاق بن راهويه، وهو اعتقاد المشايخ المقتدى بهم كالفضيل بن عياض وأبي سليمان الداراني وسهل بن عبد الله التستري وغيرهم، فإنه ليس بين هؤلاء الأئمة وأمثاهلم نزاع في أصول الدين، وكذلك أبو حنيفة رحمة الله عليه، فإن الاعتقاد الثابت عنه في التوحيد والقدر نحو ذلك موافق العتقاد هؤلاء،
واعتقاد هؤلاء هو ما كان عليه الصحابة والتابعون لهم بإحسان، وهو ما نطق به
الكتاب والسنة

“ Aqidahnya asy-Syāfi’ī radhiyallāhu ‘anhu dan aqidah para ulama salaf semisal Mālik, ats-Tsaurī, al-Auzā’ī, Ibnul Mubārak, Ahmad bin Hanbal, dan Ishāq bin Rāhawaih, adalah aqidahnya para masyaikh teladan semisal al-Fudhail bin ‘Iyādh, Abū Sulaimān ad-Dārānī, Sahl bin ‘Abdillāh at-Tusturī dan selain mereka. Sesungguhnya tidak ada perselisihan pada para imam dan orang semisal mereka dalam perkara ushūluddīn (pokok agama, yaitu aqidah), demikian pula dengan Abū Hanīfah rahmatullah ‘alaihi, karena sesungguhnya aqidah yang tsabit (tetap) dari beliau di dalam masalah tauhid, qadar dan semisalnya, adalah selaras dengan aqidah para imam, dan aqidah para imam tersebut adalah sebagaimana aqidah-nya para sahabat dan tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, ialah aqidah yang dikatakan oleh al-Kitab dan as-Sunnah.”
[ Majmū’ Fatāwā V/256 ].

Jadi, inilah pokok dan poin pertama di antara faktor-faktor penyebab mantapnya aqidah di dalam jiwa pemiliknya, yaitu bersandar kepada al-Kitab dan as-Sunnah. Tanpa bersandar kepada kedua ini, tak ada jalan ’tuk memperoleh kemantapan hati, keselamatan, dan istiqamah.

••• ════ ༻🌿༺ ════ •••
abinyasalma
Sumber :
E-book “15 Faktor Penopang Mantapnya Aqidah”
http://bit.ly/15faktor
—————————-
Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk amal yang dicintai dan diridhai-Nya. Shalawat dan salam semoga juga dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu Álaihi Wasallam, segenap keluarga dan para sahabatnya.

MEDIA DAKWAH EUROMOSLIM: Buletin Terbit Setiap Hari Jum’at
EUROMOSLIM-AMSTERDAM
Indonesisch-Nederlandsche Moslim Gemeenschap–Amsterdam
Organisasi Keluarga Muslim Indonesia-Belanda di Amsterdam
EKINGENSTRAAT 3-7, AMSTERDAM-OSDORP

Amsterdam, 08 november 2019 / 11 rabi’ul awwal 1441
Saran, komentar dan sanggahan atas artikel diatas kirim ke:
E-mail: Euromoslim-Amsterdam: media@euromoslim.org